Riwayat Angka 68

Sejak tahun 1997, setiap penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada saya selalu aktif menjadi bagian dari penyelenggara Pemilu. Dimulai dengan menjadi anggota KPPS pada tahun 1997, Pemilu terakhir yang diselenggarakan di era Orde Baru hingga penyelenggaraan Pilpres 2014 menjadi anggota Media Center KPU Kota Sukabumi dan anggota Divisi Teknis yang lebih menitikberatkan dalam penyampaian informasi kepemiluan serta penginputan data hasil perolehan suara ke dalam model-model yang telah ditentukan di dalam Undang-undang Pemilu dan PKPU.

Beberapa teman sempat bertanya, kenapa pada penyelenggaraan Pilkada 2018, saya tidak mendaftar kembali menjadi anggota Media Center KPU atau menjadi bagian dari penyelenggara di tingkat kelurahan dan kecamatan? Sebetulnya ketidakikutsertaan saya menjadi bagian dari penyelenggara Pilkada 2018 ini telah saya sampaikan kepada beberapa teman di KPU beberapa bulan lalu, saya sudah sangat dekat dengan H. Andri Setiawan Hamami, beliau akan mencalonkan dan saat ini telah ditugaskan menjadi calon wakil walikota Sukabumi oleh Partai Demokrat, demi menjaga independensi dan profesionalitas KPU saya tidak akan terlibat menjadi bagian dari penyelenggara Pilkada 2018.

Padahal dapat saja saya bahkan lembaga setingkat KPU pun mengemukakan alasan bahwa pekerjaan menjadi bagian dari penyelenggara Pilkada 2018 merupakan bentuk pengabdian yang mengedepankan profesionalitas dan sikap independen secara total. Tetapi, persoalan Pilkada dan Pemilu tidak hanya ditentukan oleh dua azas penyelenggaraannya itu saja, hal sekecil apa pun dapat menjadi masalah besar atau dibesar-besarkan di kemudian hari. Bentuk independen akan sering dikalahkan oleh sangkaan atau tudingan memihak kepada salah satu pasangan.  Dengan kata lain, saya tidak ingin menjadi orang yang dituding mencederai lembaga penyelenggara demokrasi di negara ini.

Dari beberapa penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada yang pernah saya ikuti, Pilkada 2013 merupakan perhelatan demokrasi di Kota Sukabumi yang paling memiliki banyak cerita, dimulai dari proses sosialisasi hingga sidang gugatan dari pasangan Mulyono-Jona atau Mujarab di Mahkamah Konstitusi terkait perselisihan hasil perolehan suara sebesar 68 suara antara pasangan Mujarab dengan Muraz-Fahmi atau Mufakat. Lemahnya  independensi KPU dituduhkan oleh Tim Pemenangan pasangan Mujarab, di dalam rapat Pleno Terbuka di Gelanggang Olahraga (GOR) Kota Sukabumi dibeberkan oleh saksi pasangan Mulyono-Jona beberapa kasus tuduhan keterlibatan Aparatur Sipil Negara dalam proses pemenangan pasangan Mufakat.

Salah satu tudingan itu antara lain; Camat Cikole membawa kotak suara pada malam hari ke rumahnya,  setelah diklarifikasi hal itu dilakukan untuk membantu PPK memindahkan kotak suara dari PPS ke Kantor Kecamatan. Melalui obrolan saya dengan Camat Cikole dia bertanya kepada saya: “Apakah salah, saya membantu pemindahan kotak suara dari PPS ke PPK menggunakan mobil saya?” Dan tudingan itu sama sekali tidak dapat dibuktikan oleh penggugat dalam sidang perselisihan hasil Pilkada di Mahkamah Konstitusi. MK hanya membutuhkan bukti yang kuat baik digital atau tertulis, tidak sekadar ucapan para saksi.

Sehari setelah setiap PPK menyelenggarakan Rapat Pleno Terbuka Perolehan Suara Pilkada 2013, unjuk rasa besar-besaran dilakukan oleh pendukung pasangan Mujarab, seminggu sebelumnya pasukan Brigade Mobil salah satu satuan Kepolisian Daerah Jawa Barat dikerahkan, mengamankan kantor KPU Kota Sukabumi. Kawat berduri dipasang sepanjang 20 meter tepat di depan gerbang masuk kantor, mobil penyemperot air atau water canon disimpan tepat di depan kantor, dan pasukan anti huru-hara lengkap dengan seragamanya berjaga-jaga di tiga lokasi, kantor KPU, Balaikota, dan Kantor DPRD Kota Sukabumi. Secara politis, kondisi ini dapat dikatakan genting, tetapi bagi kelompok akar rumpur atau masyarakat umum, mereka sama sekali banyak yang tidak tahu terhadap persoalan yang sedang terjadi.

Anggota KPU Kota Sukabumi dan saya sebetulnya menanggapi hal di atas  dengan sikap wajar, tudingan atas kecurangan yang dilakukan oleh penyelenggara Pilkada bukan hal aneh dilakukan oleh beberapa kelompok, seperti halnya dalam Penyelenggaraan Pemilu Legislatif Tahun 2009 ada seorang calon legislatif memaki-maki saya karena merasa banyak suara yang diperolehnya tiba-tiba hilang, katanya dipindahkan ke caleg lain. Saya tidak banyak menggubrisnya cukup dengan memberikan data hasil input dari model C1 dan D Kelurahan. Hal yang sama juga saya lakukan saat penyelenggaraan Pilkada 2013.

Anton Rachman Suryana, saat itu menjabat Ketua KPU Kota Sukabumi, satu hari setelah pelaksaan pencoblosan  meminta kepada saya dan Nurwenda Juniarta mengecek ulang seluruh  model C1  dari seluruh TPS se-Kota Sukabumi, setelah saya input sejak pukul 23.00 – 01.00 WIB, hasil input data dari C1 menunjukkan pasangan Muraz-Fahmi memang unggul di atas Mulyono-Jona dengan selisih 68 suara. Kemenangan Muraz-Fahmi jika melihat kembali saat melakukan proses input data dari model C1  ditentukan oleh salah satu  TPS di Kelurahan Jayaraksa. Saya yakin sekali, sebelum tulisan ini dimuat, setiap orang hingga tim sukses dari Muraz-Fahmi pun tidak akan pernah tahu-menahu bahwa kemenangan mereka ditentukan oleh perolehan suara di salah satu TPS di Kelurahan Jayaraksa, karena tanpa ada perolehan suara di TPS itu, pasangan Mulyono-Jona masih unggul 5 suara dari pasangan Muraz-Fahmi.

Baru saja dua hari setelah pencoblosan, tiba-tiba kedua kubu saling mengklaim kemenangan, pesta-pesta dan papan ucapan selamat dibuat dan dialamatkan kepada kedua pasangan. Seorang teman dari pasangan Mulyono-Jona mengirim pesan singkat kepada saya, dia menyatakan hasil input tim pemenangan Mulyono-Jona menunjukkan kemenangan untuk pasangan Mujarab. Begitupun sebaliknya, teman dari tim pemenangan Muraz-Fahmi juga mengirim pesan melalui BBM bahwa pasangan Mufakat unggul telak sebesar 300-an lebih suara. Saya hanya bertanya singkat, apakah model C1 dan D dimiliki seluruhnya oleh tim pemenangan? Setelah saya teliti, ternyata klaim kemenangan itu tidak berdasarkan pada sumber C1 dan D sepenuhnya, melainkan –saya asumsikan- berdasarkan data campuran dari berbagai informasi melalui pesan singkat dari saksi ti TPS dan data perolehan suara dari Tim Desk Pilkada Pemkota Sukabumi yang dipancarkan melalui radio komunikasi dari setiap PPS. Hal ini diperparah oleh dimuatnya hasil penghitungan Desk Pilkada Pemkot di salah satu media sebelum KPU Kota Sukabumi menyelenggarakan Rapat Pleno Terbuka Penghitungan Perolehan Suara.

Saya sering mengatakan kepada teman yang tergabung di Desk Pilkada, penerimaan pesan lewat radio komunikasi (HT) dari tiap PPS yang dibacakan bukan oleh anggota PPS di tiap kelurahan sangat riskan dan bias. Melafalkan angka 1010 saja dapat terbaca tanpa sengaja 1100 atau 110, belum lagi gelombang dan sinyal yang dipancarkan oleh radio komunikasi bisa mengalami split dan berdempetan dengan suara dari radio komunikasi yang berjumlah 40 pemancar. Pembacaan yang tepat dan harus dilakukan oleh komunikator di dalam radio komunikasi sebaiknya dilakukan seperti ini: dalam membaca angka 1010 jangan dibaca seribu sepuluh, sebab dapat saja komunikator menyampaikannya dengan benar namun komunikan atau lawan bicara menuliskan pesan itu menjadi seribu satu, pembacaan yang tepat terhadap angka yang akan dimasukkan ke dalam tulisan adalah dengan cara mengejanya : satu nol satu nol. Komunikator pun sering membaca perolehan suara masing-masing pasangan dengan sangat tergesa-gesa.

Kesan yang timbul  adalah pemerintah kota seolah ingin terlihat lebih cepat dari lembaga resmi penyelenggara pilkada dalam mendapatkan hasil perolehan suara  dan mengumumkannya kepada publik, cara-cara ini merupakan kebiasaan yang telah lama terjadi dalam setiap pemilu di era Orde Baru. Maka sangat wajar jika saksi dari pasangan Mujarab menuduh kecurangan dalam Pilkada 2013 dilakukan secara massif dan terstruktur oleh pemerintah sendiri dengan melihat hasil perolehan suara yang sangat jauh dengan hasil penghitungan KPU, dalam pilkada dan pileg, perbedaan atau 1 angka merupakan nilai bukan sebatas nominal saja, ini patut diingat.


Setelah penyelenggaraan Rapat Pleno Terbuka oleh KPU Kota Sukabumi dengan pembacaan hasil perolehan suara dari masing-masing kecamatan,  pasangan Muraz-Fahmi unggul dengan selisih 68 suara dari pasangan Mulyono-Jona. Mitos yang berhembus dalam penyelenggaraan Pilkada 2013 yaitu karena pilkada dilangsungkan pada tanggal 24 Februari 2013, dengan melihat angka 24 telah dipastikan pemenanganya adalah nomor urut 2 untuk Pilkada Walikota dan nomor 4 untuk Pilgub. Selisih antara pasangan nomor 2 dan 4 dalam Penyelenggaraan Pilkada Kota Sukabumi sebesar 2+4 dan 2x4, 68. Mungkin angka-angka yang muncul hanya merupakan kebetulan saja, namun tetap angka sering memiliki pola dan pesan yang harus terus  dijadikan salah satu pertimbangan penghitungan atau falaqiah suatu hal meskipun sering dianggap mitos.

Posting Komentar untuk "Riwayat Angka 68"