Pendidikan Politik dan Identitas Kepartaian

PADA tahun 2014, sebelum penyelenggaraan Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2014 hampir setiap lembaga survey independen di Negara ini mengumumkan hasil survey tentang elektabilitas partai-partai politik serta kecenderungan pemilih terhadap penyelenggaraan Pemilu 2014. Rata-rata hasil penelitian lembaga-lembaga survey itu menyebutkan semakin melemahnya identitas kepartaian (party id) di dalam tubuh partai politik peserta Pemilu.

Hasil beberapa survey seperti Charta Politica menunjukkan angka 13,5% saja kekuatan identitas kepartaian di penghujung tahun 2013 (Desember 2013). Artinya, dengan semakin minimnya Party id ini, semakin berkurang kadar soliditas dalam tubuh sebuah partai politik namun akan meningkatkan independensi elit-elit pemerintah dan politik memperlihatkan manuver mandiri dengan cara mengatasnamakan sebuah partai dan oleh partai mana mereka diusung.

Akan timbul kesadaran baru, saat identitas kepartaian semakin melemah, kedekatan antara partai politik dengan massa pemilih semakin longgar dan tidak ditentukan oleh: emosional, ideologi, dan preferensi - para elit politik dan pemerintah yang diusung oleh partai politik melakukan sikap balas jasa dengan mengeluarkan kebijakan yang akan menguntungkan sebuah partai politik. Kesadaran ini diyakini akan menggiring pemilih pada sangkaan, kebijakan pemerintah yang diusung partai politik "A" memang populis. Meskipun kedekatan emosional pemilih dengan partai politik saat ini sudah melemah namun cara ini akan sedikit memperbaiki keretakan identitas kepartaian sebuah partai politik.

Dalam tubuh partai politik sendiri, identitas kepartaian ini telah sangat mengkhawatirkan. Hasil survey Charta Politica bulan Desember 2013 menjadi indikator betapa partai-partai politik peserta pemilu sedang memasuki wilayah yang sepi karena semakin renggangnya kedekatan dengan pemilih. Membiarkan hal ini terjadi, identitas kepartaian tetap dibiarkan melemah, akan memunculkan sikap independensi berlebihan terhadap pemilih, kader dan simpatisan, bahkan bagi calon anggota legislatif dari partai politik itu sendiri. Mesin partai politik akan menjadi komponen dan suku cadang yang terpisah, seperti onggokan-onggokan daging tercabik tanpa struktur dan bentuk yang jelas.

Hasil Survey lembaga-lembaga survey independen beberapa tahun lalu terhadap elektabilitas partai politik menunjukkan hasil; pemilih akan memberikan dukungan kepada orang-orang (baik caleg atau pun calon kepala daerah) berdasarkan ketokohannya. Hasil ini pada akhirnya menjebak partai politik agar memprioritaskan diri pada individu bukan pada kinerja mesin partai. Soliditas pun diabaikan, para calon legislatif dan kepala daerah akan lebih nyaman bekerja secara personal; membentuk tim sukses versi pribadi, mencoba menciptakan ketokohan dalam dirinya. Lahirlah orang yang memang benar sebagai tokoh, ada yang ditokohkan oleh tim suksesnya, dan mayoritas adalah orang yang menokoh-nokohkan diri, parameter sederhana dari hal ini adalah baligho dan spanduk.

Berusaha sekuat mungkin menokoh-nokohkan diri dalam kehidupan berpolitik merupakan sikap oportunis, memanfaatkan peluang ketika individu ditetapkan sebagai calon anggota legislatif atau calon kepala daerah. Harus diketahui, sikap ini hanya akan memupuk imaji personal, mengecilkan idealisme, loyalitas terhadap partai politik, bahkan loyalitas terhadap bangsa dan negara pun akan diabaikan. Sebuah kasus sederhana: Anggota DPRD di Jawa Tengah - sesuai pemberitaan Tempo- berusaha menggunakan anggaran Bansos untuk mencitrakan diri mereka di masyarakat dengan menerima proposal-proposal dari lembaga-lembaga kemasyarakatan. Satu anggota DPRD bisa mengelola hingga Rp. 4 Milyar dana Bansos ini, sementara satu fraksi mendapatkan hingga Rp. 20 Milyar. Hal ini sudah tentu, para anggota DPRD yang mencalonkan di Pemilu 2014 lalu telah memoles diri sebagai penyalur anggaran Bansos demi kepentingan masyarakat.

Salah satu hal penyebab melemahnya identitas kepartaian –khususnya di Kota Sukabumi – sejauh pengamatan saya yaitu; Pertama, pendidikan politik kurang menyentuh pemilih, rata-rata partai politik melakukan pendidikan politik kepada kader-kader inti dalam jangka waktu empat sampai lima tahun. Partai politik jarang melakukan kaderisasi kepada para pemilih pemula, mereka sering dijadikan obyek saat pesta demokrasi akan diselenggarakan. Kedua, hamper setiap partai politik memiliki keyakinan bahwa pendidikan politik –seolah- merupakan tugas dari pemerintah daerah melalui Kantor Kesatuan Bangsa, imaji seperti ini masih mengendap sejak era Orde Baru saat pendidikan politik merupakan tanggung jawab Lembaga Sospol (Sosial Politik), padahal tidak demikiran, Golkar saja sebagai partai milik pemerintah di era Orde Baru telah biasa melakukan kaderisasi melalui karakterdes (kader penggerak territorial desa).

Ketiga, iklim persaingan antar partai politik telah semakin mencair, persaingan secara secular ini telah melahirkan pandangan pragmatis baik dari elit partai hingga kader-kader di daerah. Jika ditelaah, hal seperti ini sebagai bentuk dari proses demokrasi yang belum matang telah dan akan mengancam persatuan masyarakat, terlihat dari semakin terfragmentasinya masyarakat di negeri ini. Konflik begitu mudah disulut hanya karena persoalan sepele. Maklum, setiap lima tahun sekali, mereka seakan dilatih untuk berkonflik karena banyaknya jumlah pilkada yang diadakan. Jangankan dalam masyarakat, keluarga pun banyak yang berpisah karena perbedaan partai. Lebih berbahaya lagi ketika konflik ini tidak hanya di tataran pandangan politik, pada beberapa kasus bahkan telah menjadi kekerasan fisik.

Menurut Soebagio dalam Jurnal Makara, Sosial Humaniora Vol.12 No.2 Desember 2008. Universitas Indonesia, berjudul “Implikasi Golongan Putih dalam Perspektif Pembangunan Demokrasi Indonesia” disebutkan Suara rakyat hanya dibutuhkan pada saat pemilu dan pilkada saja, dilupakan setelah masa pemilu dan pilkada berakhir. Dalam mencari kader partai yang benar-benar militan memperjuangkan kepentingan rakyat, komitmen partai politik yang ada juga diragukan karena sistem pengkaderan internal partai yang kurang solid. Indikasi pragmatisme partai politik terlihat pula dari pola koalisi berorientasi kekuasaan yang dibangun. Bagi mereka, ideologi atau komitmen terhadap moral politik terkadang bukan menjadi hal penting. Akibatnya, upaya memperjuangkan masyarakat yang kehilangan pekerjaan dan diliputi oleh kemiskinan, terutama di kalangan petani dan buruh, tidak serius dilakukan. Masyarakat pun mulai kehilangan kepercayaan terhadap politik, terlihat dari besarnya arus golput terutama pada kalangan terdidik dan partisipasi pemilih yang stagnan dari pemilu ke pemilu.

Pendidikan politik kepada masyarakat merupakan tugas besar setiap partai politik. Tugas ini tidak dapat dibebankan kepada pemerintah daerah. Sudah tentu setiap partai politik memiliki kantung-kantung basis kader yang telah dipetakan oleh setiap Badan Pemenangan Pemilu di setiap daerah. Jika mencermati peta politik statis di Kota Sukabumi berdasarkan hasil pemilu 2014 dapat dipetakan basis kekuatan tiap partai politik sebagai berikut: Partai Golkar unggul di Kecamatan Cikole, Citamiang dan sebagaian Baros serta Lembursitu. PDI Perjuangan unggul di Kecamatan Warudoyong, Gunungpuyuh, dan di kelurahan Gunungparang, Cikundul serta Sudajayahilir. Partai Gerindra unggul di Kecamatan Cibeureum. Partai Demokrat unggul di tiga kelurahan; Subangjaya, Karangtengah, dan Kebonjati. Partai Hanura unggul di lima kelurahan; Sriwidari, Tipar, Cikondang, Situmekar, dan Cipanengah. PKS unggul di Kelurahan Sindangsari. PAN unggul di Kelurahan Jayaraksa, dan PPP unggul di Kelurahan Jayamekar.



Pola peta politik statis di atas bersifat random atau acak, disebabkan oleh semakin terpusatnya pendidikan politik yang dilakukan oleh partai politik di basis-basis kader dan zona aman saja. Hal di atas juga tidak terlepas dari peran para calon anggota legislatif yang berdomisili di kecamatan dan kelurahan sebagai pemenang pemilu dengan sifat sporadis. Realitas itu ditunjukkan oleh Partai Hanura. Partai politik harus benar-benar melakukan pendidikan politik secara serius dan merata di setiap wilayah agar kinerja dan gerak mesin partai dapat terlihat dalam menghadapi Pilkada 2018 dan Pileg-Pilpres 2019. Kemenangan partai politik tidak hanya ditentukan dalam kurun waktu satu tahun pra pilkada atau pileg, melainkan ditentukan oleh seberapa besar mereka menanamkan benih kaderisasi selama empat hingga lima tahun pasca pemilu. Di luar itu, dipengaruhi oleh faktor lain seperti ketokohan ketua umum atau kharisma tokoh parpol di daerah.

Kang Warsa
Sukabumi, 20 Oktober 2017

Posting Komentar untuk "Pendidikan Politik dan Identitas Kepartaian"