DI media sosial, ingar-bingar pemaknaan kembali kata pribumi tidak jauh berbeda dengan obrolan orang-orang di pasar, mereka seperti sedang melakukan transaksi, jual beli, tawar-menawar harga, dan tanpa berkesudahan. Media –terutama media elektronik – memang telah menyulap jenis mahluk bernama homo sapiens ini menjadi bukan lagi mahluk yang harus memenuhi mulut mereka dengan makanan seperti halnya nenek moyang mereka di era food gathering.
Mereka juga seolah dituntut memenuhi mulut dengan obrolan-obrolan yang dapat saja selama berbulan-bulan berisi tema itu-itu lagi, kemudian kembali kepada pola asal, kembali kepada tema yang telah lama disimpan hanya dalam jangka waktu beberapa bulan. Gerakan perang kata-kata ini tidak hanya terjadi di lapisan atas juga mewabah di lapisan bawah dengan penafsiran alakadarnya.
Konon penggunaan kata pribumi telah dilarang oleh pemerintah sejak tahun 1998, meskipun kata ini tidak pernah dihapus di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pelarangan penggunaan kata pribumi ditafsirkan oleh pemerintah sebagai kata yang menjurus kepada bentuk rasial, mem-primordialkan warga asli Negara ini. Dalam konteks keilmuan, tentu saja pelarangan penggunaan kata pribumi tidak bersifat mutlak, ia merupakan hal yang nisbi. Sulit mengganti padanan kata yang tepat untuk menggantikannya.
Dapat saja kata ini diubah dengan kata atau frasa lain seperti 'tuan rumah', sohibul bait, atau bumiputera, tetapi penggunaan kata dan frasa tersebut telah bersifat khusus dan lawan kata dari kata dan frasa tersebut akan lebih mengarah kepada tamu, entitas sekelompok orang yang tidak memiliki hak mutlak memiliki apa pun yang ada di rumah seorang tuan rumah.
Pandangan rasialis dari pemerintah terhadap kata pribumi karena adanya antonin dari kata ini dengan sebutan non-pribumi kepada orang-orang atau sekelompok orang dari ras atau etnis tertentu. Sejak peristiwa Mei 1998, peristiwa yang telah dinyatakan sebagai salah satu bentuk pelanggaran Hak Azasi Manusia di negeri ini terjadi di beberapa kota besar telah menyudutkan etnis tertentu yang notabene dipandang sebagai non-pribumi. Pemerintah tidak ingin membiarkan sikap rasialis apa pun terus berkepanjangan meskipun hanya dalam bentuk ujaran atau kata yang sering mengarah kepada ujaran-ujaran kebencian.
Jauh sebelum Negara ini merdeka, kata pribumi telah digunakan oleh orang-orang di Hindia Belanda untuk menunjukkan penduduk asli yang telah lama menetap dan memiliki hak properti. Mereka dinegasikan dengan entitas lain di luar diri mereka; Belanda dan para pendatang baik dari Arab juga Tiongkok. Belanda memberikan sebutan lain kepada warga pribumi dengan kata inlander, secara bahasa memang tetap menjurus kepada arti yang semakna dengan pribumi, orang-orang yang ada di Negara ini.
Bangsa kita lebih memiliki menggunakan kata pribumi daripada inlander demi alasan konteks makna baik dan jelek. Inlander dimaknai sebagai kata bermakna negatif karena dicetuskan oleh Belanda dengan maksud memberikan label kurang baik terjadap pribumi. Belanja sering mensejajarkan kata inlander dengan sifat-sifat buruk seperti pemalas, bodoh, hingga buta aksara. Sementara bagi bangsa kita, kata pribumi dimaknai sebagai orang-orang yang memiliki hak memiliki dan mengolah sumber daya alam sendiri, pemilik sah tanah di negeri ini.
Awal abad ke 20 di Hindia Belanda merupakan bencana bagi Belanda. Krisis keuangan telah mengakibatkan pemerintah Belanda di Hindia Belanda harus berpikir keras. Alih-alih berhasil keluar dari krisis, kebijakan seperti menambah beban pajak bagi bangsa Indonesia telah menyengsarakan warga pribumi. Douwes Dekker, dalam bukunya Max Havelar mendeskripsikan bagaimana bencana kelaparan yang dihadapi oleh kaum pribumi sebagai akibat dari keteledoran kebijakan pemerintahnya sendiri. Dia telah merasakan bagaimana penderitaan, salah satu kalimat penting di dalam buku Max Havelar dia menuliskan: telah lama aku begitu menderita. Meskipun dia sebagai seorang warga keturunan Belanda, namun dari upaya-upayanya yang lebih berempati kepada warga pribumi, dia telah menyatakan dirinya sendiri sebagai seorang pribumi.
Tjipto Mangoenkoesoemo dan Ki Hajar Dewantara mendirikan Bumi Putera pada tahun 1913, sebuah komite yang digagas untuk menyambut peringatan seratus tahun Belanda terbebas dari Prancis. Gagasan ini merupakan pukulan telak bagi pemerintah Belanda sebab berdampak pada: siapa saja dapat dengan leluasa merayakan peringatan apa pun, meskipun itu peringatan yang memang dimiliki oleh pemerintah Belanda. Peringatan terbebasnya Belanda dari Prancis yang digagas oleh Bumi Putera memiliki arti, kemerdekaan yang diperoleh oleh sebuah bangsa memang merupakan anugerah. Bukankah Belanda juga menikmati kebebasan dari jajahan Prancis?
Satire yang ditunjukkan oleh Ki Hajar Dewantara kepada Belanda dengan menulis artikel als Ik een Nederlanders was diawali dengan sebuah kalimat " Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya" merupakan pukulan telak yang mengharuskan Belanda menangkapi para penggagas Bumi Putera.
Penggunaan kata pribumi di negeri ini pada awalnya tidak dimaksudkan sebagai ungkapan rasialis dan menyatakan bahwa warga Negara Indonesia merupakan pemilik sah negeri ini dengan mengesampingkan etnis lainnya. Masyarakat Sunda telah lebih familiar dengan kata ini, pribumi merupakan sebutan khusus bagi pemilik rumah saat kedatangan tamu. Penggunaan kata ini selama beberapa tahun sama sekali tidak menunjukkan adanya sikap primordial. Saat seseorang kedatangan tamu kemudian disebut sebagai pribumi, tamu yang datang sama sekali tidak merasa tersinggung. Dia memang mengakui jika dirinya memang seorang tamu.
Sikap politisasi yang telah menghancurkan ungkapan, makna, dan struktur arti sebuah kata dari maksud baik kepada jahat. Sebab di dalam dunia seperti ini meskipun politik sering diberi warna abu-abu, tetapi hitam dan putihnya selalu direalisasikan dengan kawan dan lawan politik. Di dalam kehidupan nyata antara warga pribumi dengan keturunan selalu terlihat akur dan baik-baik saja, berbeda ketika ungkapan ini dimunculkan oleh para politisi, pemaknaannya bisa meluber ke sana ke mari.
Mereka juga seolah dituntut memenuhi mulut dengan obrolan-obrolan yang dapat saja selama berbulan-bulan berisi tema itu-itu lagi, kemudian kembali kepada pola asal, kembali kepada tema yang telah lama disimpan hanya dalam jangka waktu beberapa bulan. Gerakan perang kata-kata ini tidak hanya terjadi di lapisan atas juga mewabah di lapisan bawah dengan penafsiran alakadarnya.
Konon penggunaan kata pribumi telah dilarang oleh pemerintah sejak tahun 1998, meskipun kata ini tidak pernah dihapus di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pelarangan penggunaan kata pribumi ditafsirkan oleh pemerintah sebagai kata yang menjurus kepada bentuk rasial, mem-primordialkan warga asli Negara ini. Dalam konteks keilmuan, tentu saja pelarangan penggunaan kata pribumi tidak bersifat mutlak, ia merupakan hal yang nisbi. Sulit mengganti padanan kata yang tepat untuk menggantikannya.
Dapat saja kata ini diubah dengan kata atau frasa lain seperti 'tuan rumah', sohibul bait, atau bumiputera, tetapi penggunaan kata dan frasa tersebut telah bersifat khusus dan lawan kata dari kata dan frasa tersebut akan lebih mengarah kepada tamu, entitas sekelompok orang yang tidak memiliki hak mutlak memiliki apa pun yang ada di rumah seorang tuan rumah.
Pandangan rasialis dari pemerintah terhadap kata pribumi karena adanya antonin dari kata ini dengan sebutan non-pribumi kepada orang-orang atau sekelompok orang dari ras atau etnis tertentu. Sejak peristiwa Mei 1998, peristiwa yang telah dinyatakan sebagai salah satu bentuk pelanggaran Hak Azasi Manusia di negeri ini terjadi di beberapa kota besar telah menyudutkan etnis tertentu yang notabene dipandang sebagai non-pribumi. Pemerintah tidak ingin membiarkan sikap rasialis apa pun terus berkepanjangan meskipun hanya dalam bentuk ujaran atau kata yang sering mengarah kepada ujaran-ujaran kebencian.
Jauh sebelum Negara ini merdeka, kata pribumi telah digunakan oleh orang-orang di Hindia Belanda untuk menunjukkan penduduk asli yang telah lama menetap dan memiliki hak properti. Mereka dinegasikan dengan entitas lain di luar diri mereka; Belanda dan para pendatang baik dari Arab juga Tiongkok. Belanda memberikan sebutan lain kepada warga pribumi dengan kata inlander, secara bahasa memang tetap menjurus kepada arti yang semakna dengan pribumi, orang-orang yang ada di Negara ini.
Bangsa kita lebih memiliki menggunakan kata pribumi daripada inlander demi alasan konteks makna baik dan jelek. Inlander dimaknai sebagai kata bermakna negatif karena dicetuskan oleh Belanda dengan maksud memberikan label kurang baik terjadap pribumi. Belanja sering mensejajarkan kata inlander dengan sifat-sifat buruk seperti pemalas, bodoh, hingga buta aksara. Sementara bagi bangsa kita, kata pribumi dimaknai sebagai orang-orang yang memiliki hak memiliki dan mengolah sumber daya alam sendiri, pemilik sah tanah di negeri ini.
Awal abad ke 20 di Hindia Belanda merupakan bencana bagi Belanda. Krisis keuangan telah mengakibatkan pemerintah Belanda di Hindia Belanda harus berpikir keras. Alih-alih berhasil keluar dari krisis, kebijakan seperti menambah beban pajak bagi bangsa Indonesia telah menyengsarakan warga pribumi. Douwes Dekker, dalam bukunya Max Havelar mendeskripsikan bagaimana bencana kelaparan yang dihadapi oleh kaum pribumi sebagai akibat dari keteledoran kebijakan pemerintahnya sendiri. Dia telah merasakan bagaimana penderitaan, salah satu kalimat penting di dalam buku Max Havelar dia menuliskan: telah lama aku begitu menderita. Meskipun dia sebagai seorang warga keturunan Belanda, namun dari upaya-upayanya yang lebih berempati kepada warga pribumi, dia telah menyatakan dirinya sendiri sebagai seorang pribumi.
Tjipto Mangoenkoesoemo dan Ki Hajar Dewantara mendirikan Bumi Putera pada tahun 1913, sebuah komite yang digagas untuk menyambut peringatan seratus tahun Belanda terbebas dari Prancis. Gagasan ini merupakan pukulan telak bagi pemerintah Belanda sebab berdampak pada: siapa saja dapat dengan leluasa merayakan peringatan apa pun, meskipun itu peringatan yang memang dimiliki oleh pemerintah Belanda. Peringatan terbebasnya Belanda dari Prancis yang digagas oleh Bumi Putera memiliki arti, kemerdekaan yang diperoleh oleh sebuah bangsa memang merupakan anugerah. Bukankah Belanda juga menikmati kebebasan dari jajahan Prancis?
Satire yang ditunjukkan oleh Ki Hajar Dewantara kepada Belanda dengan menulis artikel als Ik een Nederlanders was diawali dengan sebuah kalimat " Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya" merupakan pukulan telak yang mengharuskan Belanda menangkapi para penggagas Bumi Putera.
Penggunaan kata pribumi di negeri ini pada awalnya tidak dimaksudkan sebagai ungkapan rasialis dan menyatakan bahwa warga Negara Indonesia merupakan pemilik sah negeri ini dengan mengesampingkan etnis lainnya. Masyarakat Sunda telah lebih familiar dengan kata ini, pribumi merupakan sebutan khusus bagi pemilik rumah saat kedatangan tamu. Penggunaan kata ini selama beberapa tahun sama sekali tidak menunjukkan adanya sikap primordial. Saat seseorang kedatangan tamu kemudian disebut sebagai pribumi, tamu yang datang sama sekali tidak merasa tersinggung. Dia memang mengakui jika dirinya memang seorang tamu.
Sikap politisasi yang telah menghancurkan ungkapan, makna, dan struktur arti sebuah kata dari maksud baik kepada jahat. Sebab di dalam dunia seperti ini meskipun politik sering diberi warna abu-abu, tetapi hitam dan putihnya selalu direalisasikan dengan kawan dan lawan politik. Di dalam kehidupan nyata antara warga pribumi dengan keturunan selalu terlihat akur dan baik-baik saja, berbeda ketika ungkapan ini dimunculkan oleh para politisi, pemaknaannya bisa meluber ke sana ke mari.
Posting Komentar untuk "Inlander"