Meskipun
Penyelenggaraan Pemilu 2019 akan dilangsungkan sekitar satu setengah tahun ke
depan, tetapi isu-isu tentangnya telah dibicarakan secara luas baik oleh media
pemberitaan atau di dunia nyata, baik di pusat atau di daerah. Salah satu
tahapan penyelenggaraan Pemilu 2019 adalah pendaftaran partai peserta Pemilu
kepada Komisi Pemilihan Umum yang telah dilaksanakan pertengahan Oktober 2017.
Beberapa
isu yang berkembang di daerah –seperti Sukabumi- terkait persoalan Pemilu 2019
di antaranya; H.Mohamad Muraz tidak akan mencalonkan atau dicalonkan kembali
dalam penyelenggaraan Pilkada 2018 demi alasan akan mencalonkan menjadi calon
anggota DPR dari Daerah Pemilih Sukabumi pada Pemilu mendatang. Sebenarnya,
sikap tegas yang diperlihatkan oleh H. Mohamad Muraz dengan tidak mencalonkan
kembali sebagai calon Walikota Sukabumi –bagi penulis- merupakan bentuk
komitmen dirinya terhadap beberapa ucapan yang sering disampaikan oleh beliau
kepada masyarakat, bahwa dirinya hanya akan menjabat sebagai Walikota Sukabumi
cukup dalam satu periode saja.
Di
kalangan birokrat, H. Mohamad Muraz sendiri telah dikenal sebagai Mr Clean artinya sejak sebelum menjabat
sebagai walikota juga telah dinilai -oleh kalangan birokrat- memiliki ketegasan
untuk menolak praktik-praktik tidak terpuji dalam hal pemerintahan. Beberapa pegawai
Pemkot Sukabumi, pada tahun 2010, saat ia menjabat Sekretaris Daerah Kota
Sukabumi banyak yang menyampaikan pandangan seragam: Pak Muraz selalu bertindak
–terutama dalam hal pemerintahan- sesuai dengan prosedur. Rekam jejak dirinya –hasil
penelusuran penulis- sejak masa kepemimpinan Muslikh Abdussyukur relatif bersih.
Pada
awalnya, tentu saja para konstituen Partai Demokrat sebagai salah satu partai
pengusung pasangan Muraz-Fahmi dalam Pilkada 2013 merasa kecewa terhadap
pernyataan sikap H. Mohamad Muraz yang tidak akan mencalonkan kembali pada
kontestasi Pilkada 2018. Tetapi, jika kita melihat secara jeli perjalanan atau
karir politiknya, sejak tahun 2014 pernyataan ‘hanya akan menjabat walikota selama
satu periode’ itu telah diucapkan dan sering diulang-ulang oleh H. Mohamad
Muraz di dalam berbagai pertemuan.
Implikasi
terhadap pernyataan tersebut antara lain; jika H. Mohamad Muraz benar-benar
tidak mencalonkan kembali sebagai calon kepala daerah hal ini akan membawa
dampak baik baginya sebagai seseorang yang benar-benar memegang teguh ucapan
yang telah dikeluarkannya. Implikasi kedua, dengan tidak mencalonkan kembali
sebagai kontestan Pilkada 2018, H. Mohamad Muraz akan menjadi salah seorang
kepala daerah yang tidak terlalu mementingkan dirinya, padahal bisa saja,
melalui jalur birokrasi atau partai politiknya, ia memanfaatkan sisa masa
kepemimpinannya dalam beberapa bulan ke depan untuk meningkatkan elektabilitas
dirinya jika mencalonkan kembali. Jarang sekali Ketua Partai memiliki sikap
demikian, padahal di beberapa daerah seperti halnya di Sukabumi saja tidak
sedikit para ketua partai politik yang ‘mati-matian’ ingin menjadi bakal calon
kepala daerah dan mendapatkan rekomendasi dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP)
partai.
Isu
yang berkembang menjelang Pemilu 2019 di beberapa daerah yang akan
menyelenggarakan Pilkada Serentak yaitu; Pilkada merupakan batu loncatan atau
lebih tepat disebut sebagai salah satu indikator keberhasilan partai politik
sebelum memasuki tahapan-tahapan teknis Pemilu 2019. Keberhasilan partai politik
sebagai pengusung calon pasangan di Pilkada dinilai dapat menaikkan
elektabilitas partai politik peserta Pemilu 2019 nanti. Tentu saja setiap
partai politik akan mengedepankan berbagai pertimbangan dalam menentukan calon
kepala daerah yang akan diusungnya. Meskipun secara faktual, keberhasilan
sebuah partai politik di dalam Pilkada itu bukan dapat disebut sebagai indikator
keberhasilan dalam Pemilu 2019 yang akan datang. Kasus yang terjadi di Kota dan
Kabupaten Sukabumi justru berbanding terbalik; hasil Pemilu sebelumnya yang
dapat menentukan keberhasilan kemenangan Pilkada. Pasangan Marwan-Adjo meraih
hingga 50,08% suara sebab diusung oleh mayoritas partai politik pemenang Pemilu
2014, keberhasilan pasangan Muraz-Fahmi dalam Pilkada 2013 juga ditentukan oleh
suara Demokrat dan PKS (12 kursi) pada Pemilu 2009.
Di
beberapa daerah, sentimen keagamaan mulai diwacanakan dalam menghadapi Pilkada
2018 dan Pemilu 2019. Penerbitan Undang-undang Ormas beberapa waktu lalu,
karena obyek sasaran di dalam undang-undang ini pada awalnya ditujukan kepada
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sebagai salah satu Ormas anti Pancasila, isu keagamaan
mulai dimunculkan melalui beberapa media sosial dan website yang tidak
otoritatif antara lain pernyataan dengan mengatasnamakan fatwa ulama:
menjatuhkan hukum haram untuk memilih partai yang menyetujui diterbitkannya UU
Ormas.
Tentu
saja keluarnya pernyataan tersebut tidak terlepas dari politisasi keagamaan
yang selalu dianggap akan berhasil dalam
menjatuhkan lawan-lawan politik atau kelompok-kelompok lain. Padahal,
menjatuhkan apalagi menfatwakan dan mengeluarkan hukum terhadap sebuah persoalan
dalam kaidah Islam tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Imam-imam besar
dalam khazanah sejarah Islam, akan melakukan permenungan selama berbulan-bulan
jika ditanya mengenai sebuah persoalan yang tidak pernah mereka temui
sebelumnya. Artinya, di dalam mengeluarkan fatwa atau pernyataan harus
mengedepankan sikap hati-hati agar tidak memiliki implikasi susulan terhadap
hal lain yang lebih pokok.
Jika
benar ada fatwa yang menjatuhkan hukum haram memilih partai politik pendukung
Undang-undang Ormas maka fatwa atau anjuran tersebut akan melahirkan implikasi
terhadap hal yang lebih krusial atau pokok. Setiap peraturan dan
perundang-undangan di negara ini tentu memiliki dasar hukum yang lebih tinggi;
Pancasila dan UUD’1945, menjatuhkan haram sebuah peraturan memiliki implikasi ‘pengharaman’
juga kepada Pancasila dan UUD’1945, menyatakan haram Pancasila akan
berimplikasi kepada haramnya mengakui “Ketuhanan Yang Maha Esa”, secara substantif
sila pertama ini memiliki nilai sebagaimana termaktub di dalam al-Quran tentang
keesaan Tuhan.
Akan
tetapi, isu dan sentimen keagamaan tetap akan dimunculkan oleh
kelompok-kelompok tertentu dengan melihat berbagai kasus dan peristiwa yang
telah berhasil mereka ciptakan bahwa isu dan sentimen keagamaan selalu berhasil
menyudutkan kelompok lainnya secara politis. Kemenangan secara politis, bagi
mereka dapat diartikan sebagai kemenangan diri dan golongannya. Sudah pasti
tujuan mereka sebetulnya sama dengan partai politik manapun, meraih kekuasaan
meskipun harus dibayar dengan sikap munafik dengan mengatasnamakan agama. Kelompok-kelompok
seperti ini sebenarnya bukan takut kepada Tuhan sebagaimana yang selama ini
mereka dakwahkan, melainkan mereka ketakutan jika diri dan kelompoknya
kehilangan kemasyhuran dan lembaga yang selama ini mereka perjuangkan atas nama
Tuhan.
Kang Warsa
Guru MTs Riyadlul Jannah | Anggota PGRI Kota Sukabumi
Posting Komentar untuk "Sentimen Keagamaan Menjelang Pemilu 2019"