Abad 21 bisa saja dikatakan sebagai abad keemasan
berbagai platform media sosial. Namun penting diingat, berbagai platform tersebut,
dengan varian, jenis, dan bentuk keberadaannya tidak luput dari tiga proses:
kelahiran, kejayaan, dan keruntuhan. Di awal millennium kedua masehi, dari
mulai anak-anak usia SMP hingga mahasiswa perguruan tinggi tidak ada yang
pernah mengira, Friendster akan
mengalami keruntuhan di tengah masa kejayaannya.
Gawai belum secanggih hari ini, akses internet di
Indonesia masih mengandalkan jaringan GPRS, fiber optik belum digunakan, akses
internet kecepatan tinggi yang familiar di masyarakat melek internet baru
ditawarkan oleh Telkom melalui layanan speedy.
Untuk mengaksesnya, para pengguna berkunjung ke warnet-warnet yang mematok
harga pada kisaran 5 ribu sampai 7 ribu rupiah per jam.
Friendster mengalami kejayaan selama
tujuh tahun tanpa harus bersaing dengan media-media sosial lainnya, namun
mengalami keruntuhan sebelum media sosial ini memasuki era ketika internet
menjadi hak hingga kebutuhan manusia di planet ini. Kerugian yang diakibatkan
oleh kejatuhan Friendster bukan hanya
diderita oleh pemiliknya saja, termasuk para pengguna harus kehilangan berbagai
photo, video, dan berkas catatan yang disimpan dalam media sosial ini tanpa
melakukan backup dengan cara
mengunduh berkas-berkas tersebut.
Hampir semua pengguna memiliki asumsi yang sama saat
itu, berkas-berkas pribadi yang diunggah ke dalam Friendster sangat aman dan dapat terjaga. Nyatanya, rata-rata para
pengguna menjelang kejatuhan Friendster
mulai melirik media sosial lain yang sedang merangkak menjadi rumah besar
bersama di dalam ruang maya bernama Facebook.
Secara perlahan, Friendster
ditinggalkan oleh para penggunannya, kemudian menjelma menjadi rumah-rumah
kosong tanpa penghuni.
Facebook tidak hanya menawarkan
istana baru dan hunian yang dapat diakses melalui situs web saja, pada
perkembangan selanjutnya ditawarkan aplikasi khusus yang hanya dapat mengakses
media sosial besutan Zuckenberg ini dengan hanya satu klik saja. Pengguna tentu
lebih menyukai jalan pintas seperti ini. Tidak cukup di situ, penyedia layanan
data internet menjalin hubungan dan kerjasama dengan Facebook agar media sosial ini dapat diakses secara gratis oleh
siapa saja. Dengan tanpa kuota internet, netizen dapat menuliskan pikiran-pikiran
mereka dengan mengakses free.facebook. com atau 0.facebook.com.
Masa kejayaan Facebook
beririsan dengan era keemasan ponsel cerdas BlackBerry
setelah berhasil memukul mundur Nokia dan ponsel konvensional lainnya. Pilihan jatuh
kepada BlackBerry karena ponsel ini
mampu menawarkan fitur pengetikan sederhana dengan papan ketik QWERT-nya. Lagi-lagi,
orang-orang berani mengeluarkan jutaan rupiah untuk memiliki ponsel dengan
papan ketik QWERTY. Industri rumahan di Tiongkok hingga produsen ponsel
mengadopsi papan ketik ini. Istilah BlackBerry
China disematkan pada gawai-gawai besutan China yang mirip dengan BlackBerry.
BlackBerry dipukul mundur oleh
ponsel-ponsel yang betul-betul semakin cerdas, dapat saja kecerdasannya
mengalahkan pemiliknya sendiri. Ponsel berbasis sistem operasi android dan iOS
dengan beragam fitur dan aplikasi yang disematkan di dalamnya telah mengalihkan
pilihan pengguna dari BlackBerry ke
ponsel cerdas baru yang terus-menerus melakukan revolusi baik dari tampilan
maupun sistemnya. Kejatuhan BlackBerry
diiringi oleh kejatuhan aplikasi obrolan bawaannya: BlackBerry Messenger (BBM).
Pertarungan tanpa henti di dalam kehidupan yang
pernah dicetuskan oleh para saintis Darwinis berlaku juga di dalam persaingan
eksistensi aplikasi-aplikasi yang dapat menggerakkan manusia mengisi ruangan
maya. Untuk saat ini, kita tentu memiliki anggapan, Facebook, WhatsApp, Istagram, dan Google dengan produk turunannya tidak akan sama dengan aplikasi dan
platform media sosial dan obrolan yang pernah mengalami kejayaan pada satu dekade
lalu. Berkas-berkas dari mulai photo, video, catatan, dan lainnya sangat aman
disimpan di media sosial ini. Pikiran seperti itu pernah tersirat dalam kepala
para penggunan Friendster 18 – 11 tahun
lalu.
Sejak awal, Facebook
telah memanjakan para penggunanya dengan fitur-fitur pihak ketiga. Untuk memainkan
permainan virtual sebagai suatu keisengan, pengguna tidak perlu membuka
aplikasi permainan daring secara terpisah, berbagai jenis permainan virtual disisipkan
dalam Facebook. Dapat dibayangkan,
dalam kurun waktu tahun 2009 sampai 2013, para pengguna dengan sukarela
mendatangi warnet-warnet atau bermain di ponsel cerdas generasi kedua hanya
untuk memainkan Mafia Wars dan Farmville. Hal ini tidak hanya terjadi
di kota, namun telah memasuki perkampungan-perkampungan, sebuah banjir kemajuan
yang sulit dibendung oleh piranti apa pun.
Lambat laun permainan tradisional yang biasa
dilakukan oleh anak-anak di sekolah saat jam istirahat, pulang sekolah, dan
sore hari mengalami pergeseran tempat dari halaman rumah, balai desa, dan
sekolah ke halaman-halaman kecil layar komputer dan ponsel namun mampu
melahirkan sensasi luar biasa bahwa para pengguna seolah sedang berkebun dan
bercocok tanam di sebuah ladang dengan luas berhektar-hektar. Pengguna merasakan
sensasi dapat melakukan interaksi dengan hewan-hewan domestikasi; bebek, ayam,
dan kambing hanya dengan duduk santai tanpa harus bersentuhan dengan binatang
tersebut apalagi mencium aroma bau kotorannya. Sejak satu dekade ini, halaman
balai desa yang telah berubah menjadi kelurahan selalu sepi oleh anak-anak yang
memainkan permainan tradisional setiap sore. Saat ini, jerit dan tawa mereka
berlangsung di kamar masing-masing .
Keceriaan anak-anak bermain di halaman balai desa di
era kejayaan permainan telepon dengan menggunakan kaleng susu dan benang
layangan yang terlukis dalam romantisme pupuh gurisa adalah potret masa lalu
sebuah generasi. Hilangnya aktivitas anak-anak bermain di halaman balai desa
tersebut tidak hanya disebabkan oleh kehadiran media sosial yang menawarkan
beragam hiburan dan permainan virtual saja. Di sisi lain, kita harus mengaku secara
jujur, halaman balai desa saat ini, tidak lagi berfungsi sebagai ruang publik,
pertemuan besar masyarakat, akses terdekat masyarakat menyerap informasi,
melainkan telah berubah menjadi ruang penyekat antara aktivitas masyarakat
dengan administrasi pemerintahan. Rata-rata kantor kelurahan telah disekat oleh
pagar besi tinggi, dibuka saat jam kerja. Hal ini tentu saja beralasan, karena
pemanfaatan halamannya sebagai ruang publik dan tempat anak-anak bermain sudah
jarang dilakukan. Apal boleh buat, kantor balai desa atau kelurahan lebih baik
dipagar saja.
Konsep awal pembangunan balai desa sebagai ruang publik
begitu identik dengan keberadaan alun-alun sebuah kota, namun dalam skala yang
lebih kecil. Sebagai ruang publik sederhana, balai desa biasanya digunakan
dalam aktivitas-aktivitas kemasyarakatan. Sistem macapat yang dikembangkan oleh
para wali songo diadaptasi oleh masyarakat melalui penentuan fungsi dan
tempat-tempat yang dijadikan ruang publik.
Setelah wilayah perdesaan atau daerah rural diserbu
oleh berbagai kemajuan, termasuk di dalamnya pola pikir, keberadaan ruang-ruang
publik mulai bergeser menjadi ruang privasi. Sampai tahun 80-an, dapat saja
kita mengenang ingatan, anak-anak dengan leluasa dapat bermain di halaman rumah
seseorang. Saat ini, rata-rata rumah juga sudah jarang memiliki halaman yang
luas, jika memiliki pun halaman rumah telah disulap menjadi taman-taman
berlantai rumput Jepang seperti kastil dan istana-istana di Eropa pada abad 17.
Keberadaan halaman rumah dengan taman dan lantai rumput itu tidak bisa
digunakan sebagai tempat bermain-main, pemiliknya saja tidak sanggup menginjak
rumput halamannya sendiri.
Sementara itu, halaman-halaman ruang publik lainnya
seperti kantor kelurahan dan sekolah tidak lagi sebagai halaman dengan tanah
merah, kesemuanya telah dibeton, dipasang paving blok. Anak-anak tidak akan
sanggup bermain bola sepak, main kelereng, kasti, dan boy-boyan di lapangan beton atau bertembok. Romantisme generasi X karena
mereka telah kehilangan berabagai macam permainan tradisional di zaman ini
berbanding lurus dengan hilangnya fungsi-fungsi ruang publik dan pergeseran
arena permainan anak-anak ke lapangan dan ladang virtual.
Mengubah kembali ruang privasi menjadi ruang publik di
era disrupsi ini memang sangat tidak mungkin. Sebab masing-masing orang telah
menempati habitat yang dipandang oleh mereka sebagai tempat paling nyaman. Meskipun
pada satu saat nanti pemerintah mengeluarkan kebijakan pengembalian kembali
ruang-ruang publik kepada fungsi awal sangat pesimis kebijakan seperti ini
disikapi secara serius oleh masyarakat. Era disrupsi ditandai –salah satunya
oleh– sikap kohesif yang makin mengendur. Manusia di era ini jika diilustrasikan
seperti radikal bebas yang dapat melayang, terbang, berpindah, menerima dan memberikan apapun tanpa ikatan yang
mengikat dirinya dengan lingkungan. Sebelum produksi sepeda motor dilakukan
secara besar-besaran dan akses jalan belum begitu baik, masyarakat perdesaan
merupakan molekul terikat yang terjebak dalam norma dan seperangkat aturan
sosial, ikatan sosial begitu kuat. Masyarakat paguyuban terbentuk.
Perubahan dan perkembangan zaman cenderung lebih
cepat sejak revolusi kognitif. Tidak hanya berlangsung pada perkembangan ukuran
otak manusia saja, juga sebanding dengan
perkembangan informasi yang diterima oleh otak tersebut. Peralihan penggunaan
roda sederhana menjadi mesin uap memerlukan waktu hingga puluhan ribu tahun,
tetapi peralihan roda yang digerakkan oleh mesin upa ke roda yang digerakkan
oleh bahan bakar minyak hanya memerlukan waktu tidak lebih dari satu abad.
Meskipun demikian, manusia selalu dapat melalui
perubahan dan perkembangan zaman dari waktu ke waktu. Manusia pandai
beradaptasi, entah dengan mengubah tampilan, fitur, dan penyesuaian diri. Jarang
ditemui cerita dalam babak sejarah manusia pernah mengalami kepunahan jika
bukan disebabkan oleh penyakit dan perang. Dan tidak ada kepunahan ras manusia
yang diakibatkan oleh penemuan-penemuan baru di berbagai bidang kehidupan. Yang
terjadi adalah manusia selalu mampu menjadi pengguna produk yang dihasilkan di
setiap zaman. Jika anak-anak di tahun 70-80an bisa memanfaatkan telepon dari
kaleng susu, anak-anak di zaman sekarang mampu memanfaatkan telepon selular
dengan beragam fiturnya. Bukan tidak mungkin, pada saatnya nanti, manusia akan
menggunakan kembali cara komunikasi instingtif seperti yang pernah dilakukan
oleh nenek moyang manusia pada ratusan ribu tahun lalu.
Posting Komentar untuk "Dari Halaman Balai Desa Menuju Beranda Medsos"