Sejumlah ilmuwan sosial, sejak keruntuhan komunisme, telah mencoba menguraikan situasi dunia beberapa dekade ke depan.
Francis Fukuyama dalam The End of History and the Last Man mengelaborasi terminologi akhir dari sejarah lebih tepatnya dengan istilah akhir dari cerita peradaban manusia bukan berarti umat manusia mengalami kemandegan dalam perjalanan sejarahnya.
Keruntuhan Tembok Berlin tahun 1989 sebagai ujung perjalanan cerita komunisme dalam bingkai politik dunia diberi makna oleh para ilmuwan sosial dan politik dengan satu asumsi: dunia sedang mengarah kepada liberalisasi di setiap bidang kehidupan.
Sebagai satu pandangan dan ideologi, komunisme sebetulnya tidak benar-benar hilang. Sama halnya dengan feodalisme yang pernah mengalami masa kejayaan pascawabah hitam tahun 1348 dan mulai sekarat setelah revolusi Prancis. Sampai sekarang ide tentang kepemilikan lahan dalam jumlah besar tetap masih tersirat dalam pikiran manusia.
Yang terjadi, mengutip pandangan Samuel Huntington dalam The Clash of Civilization, pandangan hidup dan ideologi yang pernah saling berebut pengaruh dan simpati manusia, telah saling mengikat dan memengaruhi satu sama lain.
Tidak sepenuhnya kelompok kapitalis menolak mentah-mentah ide dasar komunisme dan sosialisme. Para filantropis dunia telah menggelontorkan donasi untuk meningkatkan pendidikan, persamaan gender, toleransi, dan membangun kesejahteraan ke negara-negara bekas jajahan menunjukkan sisi baik sosialisme memengaruhi kapitalisme.
Sebaliknya, Tiongkok sebagai salah satu negara berideologi komunis tetapi mati-matian memasuki ruang pasar bebas, bahkan cenderung benar-benar terjun bebas memasuki perang dagang dengan negara-negara lain yang dipandang menerapkan kapitalisme murni. Sebelumnya, negara tirai bambu ini dipandang sebagai “sisi lain dari sejarah” oleh negara-negara maju.
Di era akhir sejarah dan benturan peradaban sejak akhir tahun 1990-an hampir tidak ada celah dan ruang bagi masyarakat di dunia untuk menarik pandangan dan mengambil ideologi alternatif. Setelah sebelumnya, dunia telah mencoba mengaplikasikan pandangan-pandangan alternatif sejak awal abad 20 sampai keruntuhan Soviet.
Di masa perang dingin, dua kisah antara kapitalisme dan komunisme, negara-negara yang menggagas dirinya sebagai kelompok nonblok, mayoritas negara berkembang, semua menyodorkan pandangan alternatif.
Negara-negara berpenduduk muslim menyodorkan Islam sebagai pandangan hidup, berusaha memindahkan Islam sebagai hal yang bersifat spiritual immanen ke dalam bingkai politis yang profan.
Semula memang murni, hukum-hukum yang ada di dalam al-Quran dan Hadits harus menjadi panduan hidup, lambat laun, gerakan-gerakan yang menggagas Islam politis ini tetap harus melakukan asimilasi dengan pandangan lain, entah terpaksa atau dipaksa oleh keadaan.
Harus diakui dengan jujur, umat Islam jika tetap ingin mengembalikan masa kejayaan mereka seperti dalam romantisme cerita-cerita masa Abbasiyyah hingga Ottoman, sulit berkembang tanpa melakukan koordinasi dengan umat lain yang memiliki pandangan berbeda.
Sebagai contoh, ketika internet telah dipandang sebagai hak untuk manusia, mulai dari pemanfaatan gawai dan mengakses internet sulit dihindari oleh siapa pun.
Setiap orang, sesaleh dan sebengis apa saja sangat tergantung pada akses internet dan kepemilikan gawai. Dalam pandangan Harari, situasi ini telah menghanyutkan manusia dalam banjir informasi, hal-hal yang tidak relevan berbaur dengan manusia dan kehidupannya.
Para teknokrat sejak peradaban Mesir Kuno hingga sekarang telah mampu membendung air dan dimanfaatkan sebagai sumber energi yang ramah lingkungan, namun siapakah yang dapat membendung arus dan banjir informasi di era kematangan internet ini? Siapa pun ikut hanyut di dalam gelombangnya.
Generasi Kita
Ada pandangan yang pernah membuat kening saya mengerut. Untuk memutus ketergantungan, kompromi dengan peradaban sekarang, dan memulihkan kembali ke titik balik peradaban tidak ada jalan keluar kecuali dengan sikap kita harus merelakan kehilangan satu generasi.
Ini merupakan satu asumsi kurang jelas, faktanya, bagaimana cara yang tepat bagi umat manusia menghilangkan satu generasi?
Generasi yang hilang sendiri tidak sebenarnya hilang, mereka justru telah membentuk generasi-generasi yang sesuai dengan kemajuan infotek dan biotek.
Konteks yang berkembang dari istilah “hilangnya generasi” justru hanya sensasi yang dirasakan oleh generasi sebelumnya karena mereka tidak sanggup mengikuti cara hidup generasi setelahnya.
Sifat dasar manusia sering terjebak dalam cara pandang mengunggulkan generasi yang dialaminya dengan generasi-generasi lain dalam berbagai bidang.
Tidak mengherankan, kita sering mendengar kalimat seperti ini, “ Di zaman saya kecil, anak-anak sangat patuh dan santun kepada orangtua.”
Dengan tanpa sadar, si penutur tersebut sedang memerankan subyek sebagai orangtua dari anak-anaknya. Bukan tidak mustahil di masa depan, si anak yang mendapatkan wejangan dari orangtua akan berkata yang sama dengan orangtuanya, mengisahkan era keemasan saat mereka kecil.
Bukankah sampai sekarang rata-rata orangtua selalu mewariskan keinginan dirinya termasuk cita-cita yang belum tercapai oleh orangtua tersebut kepada anak-anak mereka? Karena belum merasa menjadi orang baik, orangtua akan memberikan petuah kepada anak-anak mereka: jadilah orang baik, jangan seperti ayahmu. Sebuah siklus tanpa akhir.
Jauh-jauh hari kondisi ini pernah diprediksi oleh orang-orang bijak, misalnya Nabi Muhammad mengatakan, Ajarilah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup di zaman mereka bukan pada zamanmu.
Sesungguhnya mereka diciptakan untuk zamannya, sedangkan kalian diciptakan untuk zaman kalian. Munculnya perbedaan dari satu generasi dengan generasi dipengaruhi oleh perkembangan kehidupan manusia.
Sebagai generasi X, orang-orang yang lahir dalam rentang tahun 1965 sampai 1980, mereka mengalami hidup dalam satu babak drama “perang dingin”, mereka besar di zaman sebelum internet menjadi hak bagi manusia, memiliki karakter transisi, peralihan norma yang tradisional sebagai perangkat lunak bawaan dengan pintu masuk modernitas.
Generasi X adalah generasi yang hidup dalam simptomis antara yang seharusnya dengan yang mereka bantah sebagai hal yang sangat berbeda dengan mereka. Gejala ini sering terlihat dari ucapan generasi X kepada anak-anak mereka.
“Kamu harus patuh pada orangtua!”, “Kamu tidak boleh begitu!”, “Ikuti saran dan nasehat mamamu!”, “ Dasar anak zaman sekarang!”. Generasi X merupakan generasi yang dipenuhi oleh rasa khawatir berlebih.
Tidak hanya dialami oleh orang-orang di Sukabumi saja. Para orangtua dari New York hingga New Delhi merasa khawatir dengan masa depan anak-anak mereka. Generasi X merupakan generasi yang harus hidup antara memiliki kemapanan tradisi yang ketat sekaligus berdampingan dengan era kemajuan yang longgar.
Lambat laun, bukannya melakukan instrospeksi, kenapa budaya dan tradisi lama selalu kalah bersaing dengan tradisi baru, mereka cenderung menyalahkan: ini kesalahan Barat, kesalahan dunia yang semakin modern telah mengubah mentalitas keturunan kita.
Di saat yang sama, saat generasi X menginjak dewasa, pada tahun 70-an, mereka rata-rata cenderung menikmati lagu-lagu pop dan dangdut, namun jarang memutar lagu-lagu yang mereka pandang sebagai warisan leluhur. Mereka lebih mengenal dengan baik Godbless daripada Nasida Ria.
Produksi besar-besaran televisi dan radiotape dari tahun 70-90an dinikmati oleh generasi X sebagai media hiburan. Tahun 80-an, anak-anak yang dilahirkan antara tahun 1975-1980, sebagai pewaris generasi X lebih memilih menantikan acara Album Minggu, Little Missy, Aneka Ria Safari, Selekta Pop, memutar kaset-kaset lagu pop atau lagu kebarat-baratan, daripada menonton Santapan Rohani, Siraman Rohani, Dunia Dalam Berita, apalagi Berita Terakhir. Pada saat yang sama, memang harus diakui, generasi X memang lebih tangguh dalam mentalitas jika dibandingkan dengan generasi sesudahnya.
Patah hati, putus asa, apalagi sampai bunuh diri jarang sekali menjadi topik pemberitaan, jika ada kasus seperti itu sudah dipastikan bisa menggegerkan topik perbincangan. Anak-anak generasi X yang tidak naik kelas, dia akan dengan rela menerima keputusan sekolah, kemudian mengikuti pembelajaran lagi di kelas yang sama. Kepatuhan kepada orangtua dan negara merupakan ciri khas generasi X.
Tahun 1994, New York Times dan koran-koran lain di dunia mulai memperkenalkan istilah generasi Y (why) bagi mereka yang dilahirkan dalam kurun 1981 sampai 1994. Mereka merupakan generasi pertama (anak) dari generasi X.
Generasi ini menempati kuadran ketiga yang ditandai oleh: norma dan tradisi konvensional yang semakin menjauh (kuadran I), nilai-nilai luar yang semakin menguat (kuadran II), dan tahap awal kemajuan infotek (kuadran III).
Mereka telah mengenal coding, php, html, IP address, SMS, surat elektronik, dan berselancar di samudera maya. Mereka mulai meninggalkan kaset lalu menggantikannya dengan CD dan flashdisk. Ruang pertemuan generasi Y tidak lagi di pos ronda, tajug, dan halaman rumah, melainkan di ruangan chating MIRc dan Yahoo Messenger Room.
Mereka bukan lagi mahasiswa yang harus membuat tugas akhir dan skripsi dengan cara mengetiknya menggunakan mesik tik manual bermerk brother. Tanpa mengalami kerepotan, generasi Y bisa merevisi tugas akhir dan skripsi sekalipun harus direvisi puluhan kali.
Mereka merupakan generasi alternatif cenderung mengarah ke permisif. Jika norma dan tradisi lama tidak bisa membendungnya atau adab dan etika tidak disematkan kepada mereka, dengan sangat mudah generasi Y dapat mengelabui orangtua mereka.
Mantra yang biasa diucapkan oleh generasi ini biasanya: kenapa, why not, ah itu dulu, dan tentu saja istilah-istilah yang membuat orangtua mereka harus berpikir keras. Tawa generasi Y tidak lagi selalu keluar dari mulut melainkan sudah bisa dituliskan dalam rangkaian huruf: wkwkwkwk, bruakakak, LoL, atau bwahahaha.
Saat ini, empat generasi sedang hidup bersama dan berdampingan. Generasi Baby Boomers telah memasuki usia renta, generasi X telah lelah mengikuti lompatan dan permainan generasi Y yang sedang tumbuh di masa kematangannya, dan generasi Z yang sedang menginjak usia remaja.
Generasi Z yang hidup setelah dunia benar-benar berada di piramida puncak liberalisasi berbagai hal, mulai dari sosial, politik, budaya, dan agama. Generasi X, kakek dari Generasi Z akan mengalami kebingungan saat dipaksa harus mencerna keinginan cucu-cucunya.
Rata-rata, generasi X lah yang harus terpaksa mengikuti keinginan generasi Z sebagai wujud kasih sayang kepada cucu-cucunya. Generasi Z tanpa sungkan memberikan les privat cara membuat akun Facebook kepada kakek dan neneknya lantas menyeretnya memasuki ruang-ruang maya.
Generasi X diajari bagaimana membuat surat elektronik digunakan sebagai email registrasi media sosial, jutaan akun Gmail dibuat tanpa aktivitas sama sekali, tetapi Google tidak merasa keberatan sama sekali terhadap kenyataan ini.
Generasi Z adalah mereka yang rata-rata memiliki dua ponsel dalam satu genggaman ditambah dengan power bank, selalu menunduk saat berjalan, terjaga dari tidur langsung membuka gawai, hari-hari mereka dihabiskan dalam diskusi daring, mereka bersaing dalam pemanfaatan beragam aplikasi yang dianggap dapat meningkatkan kapasitas dan membuat hidup menjadi lebih baik.
Mereka adalah generasi yang dapat terbebas dari dengung nyamuk di saat tidur, tapi tidak dapat menahan dengungan pikiran yang terus berputar-putar di dalam kepala. Tidak mengherankan generasi Z ini selalu tidur lebih malam daripada generasi-generasi sebelumnya.
Mereka sedang menempati kuadran IV, norma tradisi yang semakin redup, nilai-nilai luar yang mulai dipandang universal, akses internet yang menggelontorkan informasi, dan permulaan abad biotek yang sedang merangkak menjelma menjadi artificial intelligence (AI).
Satu hingga dua dekade ke depan, dunia akan diisi oleh remaja-remaja generasi Alpha, sebagai sebuah titik balik peradaban.
Dimuat Radar Sukabumi, 08 Juli 2020
Keruntuhan Tembok Berlin tahun 1989 sebagai ujung perjalanan cerita komunisme dalam bingkai politik dunia diberi makna oleh para ilmuwan sosial dan politik dengan satu asumsi: dunia sedang mengarah kepada liberalisasi di setiap bidang kehidupan.
Sebagai satu pandangan dan ideologi, komunisme sebetulnya tidak benar-benar hilang. Sama halnya dengan feodalisme yang pernah mengalami masa kejayaan pascawabah hitam tahun 1348 dan mulai sekarat setelah revolusi Prancis. Sampai sekarang ide tentang kepemilikan lahan dalam jumlah besar tetap masih tersirat dalam pikiran manusia.
Yang terjadi, mengutip pandangan Samuel Huntington dalam The Clash of Civilization, pandangan hidup dan ideologi yang pernah saling berebut pengaruh dan simpati manusia, telah saling mengikat dan memengaruhi satu sama lain.
Tidak sepenuhnya kelompok kapitalis menolak mentah-mentah ide dasar komunisme dan sosialisme. Para filantropis dunia telah menggelontorkan donasi untuk meningkatkan pendidikan, persamaan gender, toleransi, dan membangun kesejahteraan ke negara-negara bekas jajahan menunjukkan sisi baik sosialisme memengaruhi kapitalisme.
Sebaliknya, Tiongkok sebagai salah satu negara berideologi komunis tetapi mati-matian memasuki ruang pasar bebas, bahkan cenderung benar-benar terjun bebas memasuki perang dagang dengan negara-negara lain yang dipandang menerapkan kapitalisme murni. Sebelumnya, negara tirai bambu ini dipandang sebagai “sisi lain dari sejarah” oleh negara-negara maju.
Di era akhir sejarah dan benturan peradaban sejak akhir tahun 1990-an hampir tidak ada celah dan ruang bagi masyarakat di dunia untuk menarik pandangan dan mengambil ideologi alternatif. Setelah sebelumnya, dunia telah mencoba mengaplikasikan pandangan-pandangan alternatif sejak awal abad 20 sampai keruntuhan Soviet.
Di masa perang dingin, dua kisah antara kapitalisme dan komunisme, negara-negara yang menggagas dirinya sebagai kelompok nonblok, mayoritas negara berkembang, semua menyodorkan pandangan alternatif.
Negara-negara berpenduduk muslim menyodorkan Islam sebagai pandangan hidup, berusaha memindahkan Islam sebagai hal yang bersifat spiritual immanen ke dalam bingkai politis yang profan.
Semula memang murni, hukum-hukum yang ada di dalam al-Quran dan Hadits harus menjadi panduan hidup, lambat laun, gerakan-gerakan yang menggagas Islam politis ini tetap harus melakukan asimilasi dengan pandangan lain, entah terpaksa atau dipaksa oleh keadaan.
Harus diakui dengan jujur, umat Islam jika tetap ingin mengembalikan masa kejayaan mereka seperti dalam romantisme cerita-cerita masa Abbasiyyah hingga Ottoman, sulit berkembang tanpa melakukan koordinasi dengan umat lain yang memiliki pandangan berbeda.
Sebagai contoh, ketika internet telah dipandang sebagai hak untuk manusia, mulai dari pemanfaatan gawai dan mengakses internet sulit dihindari oleh siapa pun.
Setiap orang, sesaleh dan sebengis apa saja sangat tergantung pada akses internet dan kepemilikan gawai. Dalam pandangan Harari, situasi ini telah menghanyutkan manusia dalam banjir informasi, hal-hal yang tidak relevan berbaur dengan manusia dan kehidupannya.
Para teknokrat sejak peradaban Mesir Kuno hingga sekarang telah mampu membendung air dan dimanfaatkan sebagai sumber energi yang ramah lingkungan, namun siapakah yang dapat membendung arus dan banjir informasi di era kematangan internet ini? Siapa pun ikut hanyut di dalam gelombangnya.
Generasi Kita
Ada pandangan yang pernah membuat kening saya mengerut. Untuk memutus ketergantungan, kompromi dengan peradaban sekarang, dan memulihkan kembali ke titik balik peradaban tidak ada jalan keluar kecuali dengan sikap kita harus merelakan kehilangan satu generasi.
Ini merupakan satu asumsi kurang jelas, faktanya, bagaimana cara yang tepat bagi umat manusia menghilangkan satu generasi?
Generasi yang hilang sendiri tidak sebenarnya hilang, mereka justru telah membentuk generasi-generasi yang sesuai dengan kemajuan infotek dan biotek.
Konteks yang berkembang dari istilah “hilangnya generasi” justru hanya sensasi yang dirasakan oleh generasi sebelumnya karena mereka tidak sanggup mengikuti cara hidup generasi setelahnya.
Sifat dasar manusia sering terjebak dalam cara pandang mengunggulkan generasi yang dialaminya dengan generasi-generasi lain dalam berbagai bidang.
Tidak mengherankan, kita sering mendengar kalimat seperti ini, “ Di zaman saya kecil, anak-anak sangat patuh dan santun kepada orangtua.”
Dengan tanpa sadar, si penutur tersebut sedang memerankan subyek sebagai orangtua dari anak-anaknya. Bukan tidak mustahil di masa depan, si anak yang mendapatkan wejangan dari orangtua akan berkata yang sama dengan orangtuanya, mengisahkan era keemasan saat mereka kecil.
Bukankah sampai sekarang rata-rata orangtua selalu mewariskan keinginan dirinya termasuk cita-cita yang belum tercapai oleh orangtua tersebut kepada anak-anak mereka? Karena belum merasa menjadi orang baik, orangtua akan memberikan petuah kepada anak-anak mereka: jadilah orang baik, jangan seperti ayahmu. Sebuah siklus tanpa akhir.
Jauh-jauh hari kondisi ini pernah diprediksi oleh orang-orang bijak, misalnya Nabi Muhammad mengatakan, Ajarilah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup di zaman mereka bukan pada zamanmu.
Sesungguhnya mereka diciptakan untuk zamannya, sedangkan kalian diciptakan untuk zaman kalian. Munculnya perbedaan dari satu generasi dengan generasi dipengaruhi oleh perkembangan kehidupan manusia.
Sebagai generasi X, orang-orang yang lahir dalam rentang tahun 1965 sampai 1980, mereka mengalami hidup dalam satu babak drama “perang dingin”, mereka besar di zaman sebelum internet menjadi hak bagi manusia, memiliki karakter transisi, peralihan norma yang tradisional sebagai perangkat lunak bawaan dengan pintu masuk modernitas.
Generasi X adalah generasi yang hidup dalam simptomis antara yang seharusnya dengan yang mereka bantah sebagai hal yang sangat berbeda dengan mereka. Gejala ini sering terlihat dari ucapan generasi X kepada anak-anak mereka.
“Kamu harus patuh pada orangtua!”, “Kamu tidak boleh begitu!”, “Ikuti saran dan nasehat mamamu!”, “ Dasar anak zaman sekarang!”. Generasi X merupakan generasi yang dipenuhi oleh rasa khawatir berlebih.
Tidak hanya dialami oleh orang-orang di Sukabumi saja. Para orangtua dari New York hingga New Delhi merasa khawatir dengan masa depan anak-anak mereka. Generasi X merupakan generasi yang harus hidup antara memiliki kemapanan tradisi yang ketat sekaligus berdampingan dengan era kemajuan yang longgar.
Lambat laun, bukannya melakukan instrospeksi, kenapa budaya dan tradisi lama selalu kalah bersaing dengan tradisi baru, mereka cenderung menyalahkan: ini kesalahan Barat, kesalahan dunia yang semakin modern telah mengubah mentalitas keturunan kita.
Di saat yang sama, saat generasi X menginjak dewasa, pada tahun 70-an, mereka rata-rata cenderung menikmati lagu-lagu pop dan dangdut, namun jarang memutar lagu-lagu yang mereka pandang sebagai warisan leluhur. Mereka lebih mengenal dengan baik Godbless daripada Nasida Ria.
Produksi besar-besaran televisi dan radiotape dari tahun 70-90an dinikmati oleh generasi X sebagai media hiburan. Tahun 80-an, anak-anak yang dilahirkan antara tahun 1975-1980, sebagai pewaris generasi X lebih memilih menantikan acara Album Minggu, Little Missy, Aneka Ria Safari, Selekta Pop, memutar kaset-kaset lagu pop atau lagu kebarat-baratan, daripada menonton Santapan Rohani, Siraman Rohani, Dunia Dalam Berita, apalagi Berita Terakhir. Pada saat yang sama, memang harus diakui, generasi X memang lebih tangguh dalam mentalitas jika dibandingkan dengan generasi sesudahnya.
Patah hati, putus asa, apalagi sampai bunuh diri jarang sekali menjadi topik pemberitaan, jika ada kasus seperti itu sudah dipastikan bisa menggegerkan topik perbincangan. Anak-anak generasi X yang tidak naik kelas, dia akan dengan rela menerima keputusan sekolah, kemudian mengikuti pembelajaran lagi di kelas yang sama. Kepatuhan kepada orangtua dan negara merupakan ciri khas generasi X.
Tahun 1994, New York Times dan koran-koran lain di dunia mulai memperkenalkan istilah generasi Y (why) bagi mereka yang dilahirkan dalam kurun 1981 sampai 1994. Mereka merupakan generasi pertama (anak) dari generasi X.
Generasi ini menempati kuadran ketiga yang ditandai oleh: norma dan tradisi konvensional yang semakin menjauh (kuadran I), nilai-nilai luar yang semakin menguat (kuadran II), dan tahap awal kemajuan infotek (kuadran III).
Mereka telah mengenal coding, php, html, IP address, SMS, surat elektronik, dan berselancar di samudera maya. Mereka mulai meninggalkan kaset lalu menggantikannya dengan CD dan flashdisk. Ruang pertemuan generasi Y tidak lagi di pos ronda, tajug, dan halaman rumah, melainkan di ruangan chating MIRc dan Yahoo Messenger Room.
Mereka bukan lagi mahasiswa yang harus membuat tugas akhir dan skripsi dengan cara mengetiknya menggunakan mesik tik manual bermerk brother. Tanpa mengalami kerepotan, generasi Y bisa merevisi tugas akhir dan skripsi sekalipun harus direvisi puluhan kali.
Mereka merupakan generasi alternatif cenderung mengarah ke permisif. Jika norma dan tradisi lama tidak bisa membendungnya atau adab dan etika tidak disematkan kepada mereka, dengan sangat mudah generasi Y dapat mengelabui orangtua mereka.
Mantra yang biasa diucapkan oleh generasi ini biasanya: kenapa, why not, ah itu dulu, dan tentu saja istilah-istilah yang membuat orangtua mereka harus berpikir keras. Tawa generasi Y tidak lagi selalu keluar dari mulut melainkan sudah bisa dituliskan dalam rangkaian huruf: wkwkwkwk, bruakakak, LoL, atau bwahahaha.
Saat ini, empat generasi sedang hidup bersama dan berdampingan. Generasi Baby Boomers telah memasuki usia renta, generasi X telah lelah mengikuti lompatan dan permainan generasi Y yang sedang tumbuh di masa kematangannya, dan generasi Z yang sedang menginjak usia remaja.
Generasi Z yang hidup setelah dunia benar-benar berada di piramida puncak liberalisasi berbagai hal, mulai dari sosial, politik, budaya, dan agama. Generasi X, kakek dari Generasi Z akan mengalami kebingungan saat dipaksa harus mencerna keinginan cucu-cucunya.
Rata-rata, generasi X lah yang harus terpaksa mengikuti keinginan generasi Z sebagai wujud kasih sayang kepada cucu-cucunya. Generasi Z tanpa sungkan memberikan les privat cara membuat akun Facebook kepada kakek dan neneknya lantas menyeretnya memasuki ruang-ruang maya.
Generasi X diajari bagaimana membuat surat elektronik digunakan sebagai email registrasi media sosial, jutaan akun Gmail dibuat tanpa aktivitas sama sekali, tetapi Google tidak merasa keberatan sama sekali terhadap kenyataan ini.
Generasi Z adalah mereka yang rata-rata memiliki dua ponsel dalam satu genggaman ditambah dengan power bank, selalu menunduk saat berjalan, terjaga dari tidur langsung membuka gawai, hari-hari mereka dihabiskan dalam diskusi daring, mereka bersaing dalam pemanfaatan beragam aplikasi yang dianggap dapat meningkatkan kapasitas dan membuat hidup menjadi lebih baik.
Mereka adalah generasi yang dapat terbebas dari dengung nyamuk di saat tidur, tapi tidak dapat menahan dengungan pikiran yang terus berputar-putar di dalam kepala. Tidak mengherankan generasi Z ini selalu tidur lebih malam daripada generasi-generasi sebelumnya.
Mereka sedang menempati kuadran IV, norma tradisi yang semakin redup, nilai-nilai luar yang mulai dipandang universal, akses internet yang menggelontorkan informasi, dan permulaan abad biotek yang sedang merangkak menjelma menjadi artificial intelligence (AI).
Satu hingga dua dekade ke depan, dunia akan diisi oleh remaja-remaja generasi Alpha, sebagai sebuah titik balik peradaban.
Dimuat Radar Sukabumi, 08 Juli 2020
Posting Komentar untuk "Generasi XYZ"