Para orangtua dulu, tiga sampai dua dekade ke belakang –dalam memberikan larangan kepada anak-anak di era 70-90-an, agar anak-anak mereka tidak mengerjakan perbuatan kurang baik dan bertolak belakang dengan norma susila– biasanya menggunakan pendekatan mitos. Contohnya, ketika waktu telah memasuki menjelang maghrib, dalam tradisi Sunda disebut wanci harieum beungeut, para orangtua cukup mengatakan: Ayo pulang, masuk rumah, nanti kamu diculik oleh sandekala! Larangan semacam ini, sampai akhir tahun 90-an masih dipertahankan dan sangat efektif diterapkan untuk mencegah anak-anak saat mereka akan melakukan perbuatan yang tidak umum dikerjakan saat itu.
Budaya, situasi, kondisi, penafsiran, zaman, era, dan sebutan lainnya yang memiliki hubungan dengan waktu memang mengalami perubahan secara terus-menerus. Awalnya perubahan berlangsung secara perlahan. Kearifan lokal atau local wisdom lambat laun tergantikan oleh kearifan global ketika dunia telah menjelma menjadi sekumpulan desa global atau global villages. Kearifan global yang diadopsi di dalam kehidupan kita terkadang kurang tepat juga diterapkan oleh masyarakat.
Awal pertumbuhan kearifan global dipandang sepele, ajakan orangtua untuk tidak mengerjakan hal yang tidak sejalan dengan budaya bangsa, perlahan-lahan dipandang oleh generasi sekarang sebagai mitos-mitos yang tidak terjangkau oleh akal. Lantas, anak-anak di generasi Y dan Z pun mulai berani mempertanyakan: “Pamali itu apa? Sandekala dan hantu itu apa?”, berikutnya dikuatkan dengan kalimat: “ Ah, itu takhayul, manusia modern tidak akan memercayai persoalan-persoalan mistis!”. Artinya, pikiran anak-anak memang telah dipengaruhi oleh cara berpikir manusia modern atau orang-orang berpikiran maju yang menyatakan diri mereka lebih mendahulukan nalar dan logika yang dapat dipahami oleh akal sehat dalam memandang kehidupan.
Realitas di atas juga kemungkinan besar sangat dipengaruhi oleh kelahiran beragam teori dalam bidang psikologi dan pedagogi. Menurut para ahli modern, menakut-nakuti anak-anak oleh mitos dan hal yang berbau mistis, masalah gaib, dan hantu kurang bagus dilakukan sebab akan menumbuhkan sikap penakut dalam diri anak. Jiwa anak-anak akan layu dan mengering seperti pohon kekurangan air. Kekhawatiran lain yang paling mengerikan yaitu kemunculan generasi pengecut dan phobia. Menutur teori modern, anak-anak harus dididik dan diarahkan melalui berbagai pendekatan yang dapat menumbuhkan rangsangan pada otak, masalah yang terjangkau akal, dan logis agar ketika anak-anak menginjak dewasa menjelma menjadi manusia optimis, unggul, dan mampu menghadapi setiap risiko dalam kehidupan.
Pandangan para ahli modern memang tepat ketika didukung oleh upaya-upaya yang benar. Jika tidak demikian, yang akan terjadi dan ini memang sedang berlangsung justru hal sebaliknya. Karena para orangtua mendidik anak-anak mereka dengan pendekatan modern tanpa diawali oleh penerapan norma susila atau sopan santun, yang lahir di era ini bukan hanya anak-anak pemberani dan bertanggung jawab malahan telah melahirkan anak-anak yang terlalu berani, ceroboh, gegabah, selfish, yang akan mengalami kesulitan menerima nasehat dari orangtua mereka sendiri. Generasi yang lahir yaitu: generasi kumaha aing baƩ, bagaimana aku saja, toh aku yang menjalani hidup, kalian diam, lihatlah aktor kehidupan ini sedang memainkan perannya!
Selain ditakut-takuti oleh sandekala, pada tahun 80-an sangat terkenal larangan dari orangtua kepada anak-anak mereka dengan menggunakan istilah “lulung samak” saat mereka hendak bermain ke Sungai Cimandiri. Larangan tersebut biasanya diawali dengan sebuah prolog: pada zaman dahulu ada seseorang mendapat musibah di Cimandiri ketika dia melintasi sungai tersebut karena tidak membawa tongkat kayu dan bambu runcing. Dia terpeleset jatuh karena menginjak mahluk bernama “lulung samak”, kemudian digulung oleh mahluk itu, ditarik ke bagian terdalam Cimandiri.
Cerita di atas memang dapat disebut mitos, sebab sampai saat ini, saya sendiri belum pernah melihat bentuk, raga, dan karakteristik “lulung samak”. Tetapi dengan larangan seperti itu, anak-anak menjadi lebih hati-hati ketika mandi dan bermain di Cimandiri. Tidak sedikit anak-anak saat itu yang memercayai cerita tentang “lulung samak” merupakan hal nyata, mereka biasanya membuat cerita hiperbolik tentangnya agar anak-anak lain menjadi lebih takut. Masyarakat juga memiliki anggapan, mahluk yang telah dikategorikan sebagai hantu itu hanya dapat ditaklukkan oleh bambu runcing.
Imaji tentang “lulung samak” yang selalu terbayang dalam diri anak-anak adalah sesosok mahluk yang sering berdiam terhampar pada bebatuan, berbentuk tikar atau kasur. Bahkan, anak-anak yang biasa bersenda gurau (dalam tradisi Sunda disebut ngadu rahul) sering mengatakan pernah melihatnya dengan mata kepala sendiri.
Sekarang ini, cerita “lulung samak” sudah jarang dibahasakan oleh para orangtua kepada anak-anak mereka. Yang dibahasakan oleh orangtua kepada anak-anak biasanya: mau pada main ke mana kalian, pulang jangan terlalu malam! Karena dilarang pulang jangan terlalu malam, akhirnya mereka pulang menjelang subuh, sebab dalam pandangannya subuh bukan malam lagi.
Istilah dan wacana “lulung samak” sudah jarang dibahasakan lagi dipengaruhi juga oleh budaya dan pariwisata saat ini. Sungai dan tempat-tempat sejenisnya sudah ditalud, dibangun bendungan, dibuat saluran irigasi, direkayasa oleh manusia agar menjadi tempat yang tidak angker dan menakutkan. Secara sederhana, sebetulnya tindakan manusia modern tersebut bukan membuat rekayasa apalagi perbaikan namun merusak lingkungan dengan terma pembangunan. Diperbaiki, ditertibkan, dan ditata ini sebetulnya merupakan eufimisme atau penghalusan kata saja, faktnya memang mengganggu dan merusak alam.
Di daerah Lembursitu, Wangunreja, Cipeueut, sampai Ciurug, selain cerita “lulung samak”, cerita yang masyhur dan berkembang serta tidak kalah seru yaitu kisah Si Ronda, seekor ular besar, patut diduga jenis ular sanca, yang biasa berkeliling di daerah-daerah tersebut di tengah malam hingga dini hari menjelang fajar. Kebiasan berkeliling di waktu malam hingga dini hari inilah yang menjadi alasan ular ini dijuluki Si Ronda. Ada juga yang mengatakan, ular ini merupakan ular hantu atau jadi-jadian, menurut klaim orang-orang yang pernah melihatnya pada bagian kepalanya terdapat rambut panjang dan terurai.
Abah Diung, salah seorang warga Cisemplak, Wangunreja pernah bercerita kepada saya, dia pernah dicegat Si Ronda saat akan menyeberangi sungai menuju arah Kibitay. Ular besar ini hanya diam memotong jalan, tidak mengganggu, dan tidak bergerak sama sekali. Sosok dan waruga ular ini identik dengan Si Ronda yang sering menjadi bahan pembicaraan. Selain Abah Diung, beberapa penduduk setempat di daerah ini juga pernah mengisahkan hal yang sama. Salah seorang siswa yang tinggal di Cikundul Hilir pernah bercerita kepada saya, ketika dia bermain ke Leuwi Cikaracak pada malam hari melihat sosok ular besar sedang berendam di sungai, kepalanya jabrig dipenuhi rambut.
Penggalan kisah di atas jika ditelusuri oleh Biologi atau ilmu hayat bisa saja terjawab, ular bernama Si Ronda ini merupakan jenis ular purba yang masih hidup. Hanya saja, karena penelitian terhadap alam, pepohonan, dan binatang masih belum maksimal dilakukan oleh sarjara dan peneliti di Sukabumi, akhirnya hanya ditempuh melalui penelitian sederhana apalagi sampai dielaborasi sedetail-dailnya sampai serangkaian cerita mitos dapat dijelaskan melalui pendekatan ilmiah. Dengan melihat realitas dan kondisi alam di daerah tersebut masih ditumbuhi oleh pepohonan tinggi besar, alamnya dapat dikatakan masih perawan, biasanya dijadikan habitat binatang yang terancam oleh alih fungsi lahan menjadi pemukiman penduduk.
Penelitian yang telah diterbitkan oleh situs web livescience dan BBC Life menyebutkan pembangunan dan alih fungsi lahan yang semakin gencar, termasuk deforestasi, pengrusakan hutan, penyempitan lahan terbuka hijau, pembangunan pabrik-pabrik, dan pertambahan jumlah penduduk di satu kawasan telah menimbulkan masalah baru dan berdampak pada perubahan mentalitas binatang. Binatang langka banyak yang berubah cara hidupnya menjadi nokturnal, hanya keluar pada malam hari.
Cerita rakyat atau folklor yang berkembang mendenskripsikan bahwa ular bernama Si Ronda merupakan ular betina. Ada juga masyarakat yang bercerita, mahluk jadi-jadian tersebut pada awalnya merupakan manusia biasa, seorang perempuan cantik yang berubah menjadi ular. Sebenarnya, cerita rakyat seperti itu harus benar-benar diteliti agar bisa dijadikan bahan cerita untuk generasi sekarang yang sudah jarang mendengar dongeng, kisah, dan cerita rakyat suatu daerah. Tujuannya yaitu untuk tetap menjaga dan memelihara lingkungan agar tidak dirusak apalagi sampai dijual kepada investor asing, sumber daya alam dan mineral dikeruk sampai habis. Orang lain yang mendapatkan keuntungan sementara penduduk setempat hanya menerima asap, debu, lahan kering, kekurangan sumber air bersih layak konsumsi, dan udara yang semakin panas.
Keterangan:
Sandekala
secara harfiah merupakan perubahan waktu, sore menjelang magrib, dapat juga dikatakan waktu yang kurang tepat, namun mengalami pergeseran makna menjadi sosok yang dianggap hantu penculik anak-anak.
Lulung Samak
gulungan tikar
Ngadu Rahul
berbual-bual
Dipublikasikan Radar Sukabumi, 06 September 2020
Posting Komentar untuk "Lulung Samak dan Si Ronda"