Antrophophonic: Akustik Lingkungan Perkotaan yang Sumbang


Gambar: Unsplash.com

Istilah akustik lingkungan telah lama diperkenalkan oleh para ahli. Situasi ini menyiratkan kedekatan lingkungan dengan suara-suara yang dihasilkan oleh penghuninya. Akustik lingkungan suatu wilayah terus mengalami perubahan menyesuaikan dengan kondisi ekologis, sosial, dan kultural di mana suara-suara ini dihasilkan. Dapat saja dalam satu lingkungan terjadi perubahan signifikan sejalan dengan perkembangan penghuninya.

Pergeseran budaya dari tradisional ke modern telah menjadi penyebab perubahan akustik lingkungan. Saya akan membawa Anda ke suasana lingkungan perdesaan tahun 80-90an, tepatnya di selatan Kota Sukabumi sebelum wilayah ini tergerus oleh budaya urban. Akustik lingkungan perdesaan dicirikan oleh harmonisasi suara-suara alam selama 24 jam. Suara-suara tersebut bersifat heterogen, dipenuhi oleh kepelbagaian, dari mulai kecipak air di selokan hingga suara binatang. Hampir tidak ditemui suara sumbang.

Sejak dini hari alam telah mempersembahkan suara kukuruyuk ayam jantan dan harmonisasi satwa di sawah serta ladang yang mulai memasuki epilog orkestranya. Suara jangkrik, kodok, dan satwa malam lainnya tidak pernah mau berhenti mengiringi tidur lelap para penghuni kampung. Sesekali terdengar lolongan anjing dan suara merdu burung hantu. Dari kandang belakang rumah, saat ada orang lewat terdengar kambing mengembik. Satwa-satwa ini seolah memiliki peran dan tugas meninabobokan manusia agar benar-benar lelap dalam tidur. Tak ada kata serapah dikeluarkan oleh manusia apalagi menghardik suara-suara yang dihasilkan oleh binatang dan alam ini sebagai suatu kebisingan.

Pergantian malam ke siang, sebagai masa transisi kehidupan diisi oleh akustik lingkungan yang merdu, nyanyian burung di sawah yang mulai menguning dan siap dipanen menawarkan orkestra alam. Bebek-bebek di kandang mulai bersuara menagih makanan kepada pemiliknya. Suara kokok ayam betina yang akan bertelur, sesekali diselingi oleh suara kayu bakar dibelah dari beberapa dapur rumah panggung. Antrophophonic atau suara yang dihasilkan oleh manusia, saat itu hanya sebagai selingan saja dari orkestra alam. Suara kentongan di malam hari hanya dipukul sesekali, suara bedug di masjid dipukul saat memasuki waktu salat, tidak lebih dari itu.

Senja di musim kemarau, pepohonan masih rindang tumbuh berdesak-desakan di pinggir kampung dan di setiap halaman serta belakang rumah. Semilir angin menampar dedaunan menghasilkan suara indah, dari salah satu pohon sudah biasa tonggeret mengeluarkan suara khasnya. Suara yang dihasilkan oleh manusia sebagai selingan di musim kemarau yaitu bunyi kincir angin yang dipasang di sebuah pohon paling tinggi. Itu pun berbunyi di saat angin bertiup sedikit kencang.

Akustik lingkungan perdesaan yang harmonis merupakan sebuah terapi alami bagi manusia saat itu. Suara-suara itu menjadi obat penenang dan penawar bahkan memiliki “miselium” syaraf yang menghubungkan manusia dengan lingkungannya. Iklim paguyuban (gemeinschaft) mewujud di lingkungan seperti ini. Permasalahan apalagi pertengkaran jarang terjadi. Cara bicara manusia pun cenderung lembut. Kultur perdesaan melarang anak-anak berbicara dengan nada tinggi apalagi kasar, hal yang sangat tabu bagi masyarakat perdesaan.

Kakek saya bersama teman-temannya sering berbincang-bincang di beranda rumah. Mereka membicarakan bagaimana agar panen padi dan palawija musim ini menghasilkan bulir-bulir padi yang padat berisi, mereka memperbincangkan ide-ide menata areal persawahan. Situasi ini sesuai dengan pandangan Socrates, manusia yang berada di level atas sering membicarakan ide. Dapat kita bandingkan dengan manusia modern, mereka termasuk saya rata-rata lebih dominan membicarakan peristiwa. Bahkan, dari hari ke hari tema pembicaraan justru lebih banyak mengupas kehidupan orang lain (ghibah). Manusia perdesaan yang ada di level tertinggi jarang melakukan tindakan yang biasa dilakukan oleh manusia level menengah dan rendah.

Akustik lingkungan tidak hanya menjadi sebuah tanda tipe dan jenis lingkungan tersebut namun memengaruhi mental para penghuninya. Manusia yang hidup bersama suara-suara alam, angin, air, dan satwa lebih cenderung mampu mencerna alam dan substansi yang dikandung olehnya hingga mereka lebih mengedepankan sikap bagaimana sebaiknya memberikan penghormatan kepada alam. Kendati setiap malam mereka mendengar suara burung hantu, namun tidak ada keinginan untuk memburu apalagi membunuh burung hantu.

Harmonisasi antara jagat gede (alam) dengan jagat alit (manusia) tercipta melalui sikap merasa cukup dengan apa yang telah ada. Alhasil, akustik lingkungan perdesaan yang merdu telah mendorong manusia desa untuk menghasilkan karya-karya sederhana namun selaras dengan alam. Menyalakan radio transistor tidak pernah membuat bising tetangga. Kakek saya sering mengatakan: nyetel radio tong tarik teuing (menyalakan radio jangan terlalu keras). Alasannya sederhana, mengganggu orang lain dan agar daya batu baterai lebih awet.

Milenium Kedua, Era Antrophoponic

Memasuki milenium kedua, isu tentang ancaman millenium bug yang sebelumnya menghantui dunia perbankan, PLTN, perusahaan penerbangan, para pialang, dan pemegang saham tidak sepenuhnya terjadi. Peralihan milenium pertama ke milenium kedua berjalan wajar saja. Namun, milenium kedua sesuai dengan prediksi para futuris ditandai oleh inovasi dan penggunaan berbagai piranti hasil teknologi semakin merangsek. Mau tidak mau harus diterima oleh manusia, benar adanya. Secara perlahan, wilayah perdesaan dan batas antara kota dengan desa mulai samar. Perangkat keras hasil teknologi dapat memasuki rumah dan kamar masyarakat menghasilkan suara-suara yang mengalahkan akustik alam.

Kepemilikan VCD Player telah menyulap lingkungan masyarakat serupa dengan lapak-lapak penjual kepingan VCD. Suara musik terdengar dengan berbagai genrenya dari rumah-rumah penduduk di waktu tertentu. Saat kita melewati sebuah gang di pagi atau sore hari, terdengar alunan dangdut dari satu rumah, lagu pop dari rumah lainnya, dan lagu slowrock dari rumah sebelahnya. Teknologi tidak lagi mengikuti norma susila yang telah dibuat oleh generasi sebelumnya. Manusia lebih berpikir, speaker aktif disebut keren ketika menghasilkan suara keras, seimbang antara treble dengan bass-nya. Dan itu hanya dapat diterima oleh telinga manusia modern jika dinyalakan secara keras.

Manusia modern lebih enak menghardik kokok ayam betina sebagai suara bising dan mengganggu telinga daripada harus menurunkan volume speaker aktif. Rumah-rumah telah menjadi semacam akustik pertunjukan konser musik. Peralihan kebiasaan juga terlihat dari penggunaan alat tradisional. Umat Islam biasanya akan menabuh dulu bedug sebelum adzan dikumandangkan di hari Jumat, saat ini sudah mulai ditinggalkan. Saat waktu buka puasa tiba, masyarakat lebih sering mendengar suara sirine dari masjid dan radio, bukan lagi suara bedug.

Alih fungsi lahan terbuka hijau menjadi pemukiman secara perlahan telah mematikan akustik alam. Lahan yang sebelumnya merupakan areal persawahan, tempat kodok dan binatang malam bernyanyi, sekarang lebih didominasi oleh raungan mesin kendaraan bermesin. Masyarakat sudah jarang memukul kentongan di pos ronda sebagai pertanda waktu sudah menunjukkan tengah malam dan dini hari.

Jam biologis manusia modern telah rancu, tidak lagi memerlukan suara yang dihasilkan oleh alat tradisional. Sinyal sirkadian yang dipancarkan dari langit tidak lagi ditangkap oleh tubuh manusia karena dikoyak-koyak oleh gemerlap cahaya yang dipancarkan dari lampu, televisi, layar ponsel, dan komputer. Tak mengherankan, manusia modern mengalami kesulitan tidur lebih awal di milenium kedua ini.

Akustik lingkungan perkotaan sejak pagi hingga pagi lagi merupakan suara-suara yang dihasilkan oleh manusia dan didominasi oleh suara kendaraan bermesin. Walakin, secara perlahan, manusia modern pada akhirnya menerima kenyataan akustik lingkungan yang sumbang ini dengan alasan “zaman sudah berubah”. Akustik alam telah dipindahkan oleh manusia ke dalam format digital. Untuk mendengarkan kicauan burung dan kecipak air, manusia modern hanya perlu menyetel audionya. Jelas sekali sangat berbeda, meskipun audio digital bisa menghasilkan suara alam artifisial yang jernih, tetapi suasana yang tercipta sangat tidak mencerminkan keajegan dan kekhasan.

Di milenium kedua ini, kita dituntut untuk terus beradaptasi dengan lingkungan yang tidak sejalan dengan hakikat paling dasar kehadiran manusia di alam ini. Ketidaksesuaian antara akustik alam dengan diri kita telah melahirkan sosiokultural baru; manusia menjadi lebih mudah marah di jalan, depresi, menyimpan rasa sesal dan kesal berlebihan. Kesemuanya hanya sebuah jembatan agar pada suatu saat nanti manusia menyadari: dengan meninggalkan dan menjauhi suara serta orkestra alam justru berdampak lebih buruk daripada hidup bersama suara-suara alam.

Posting Komentar untuk "Antrophophonic: Akustik Lingkungan Perkotaan yang Sumbang"