Manusia: Pewaris Keenam Alam Semesta

Sumber Gambar: NASA

Kitab suci Al-Quran dan Bibel memberikan informasi mengenai penciptaan alam semesta dalam enam masa. Kemunculan angka enam ini telah ditafsirkan –baik secara konvensional juga kontemporer. Pemaknaan lain terhadap kalimat enam masa, belakangan disebutkan sebagai proses tahapan penciptaan alam secara simultan berdasarkan fase-fase dan terus berkelanjutan. Hingga memunculkan spekulasi, penciptaan enam masa berbanding lurus dengan pemusnahan enam kali alam semesta.

Merujuk pada beberapa penelitian berdasarkan jejak arkeologis dan astronomis, planet Bumi sebagai rumah bersama seluruh makhluk yang kita kenal sekarang ini telah mengalami lima kali pemusnahan. Pemusnahan kelima terjadi sekitar 200 juta tahun lalu ketika rantai makanan tertinggi ditempati oleh makhluk besar bernama dinosaurus.

Beberapa pihak banyak yang menolak dan tidak menyetujui dinosaurus pernah merajai planet Biru ini dengan pandangan apriori hanya karena langsung merujuk kepada kitab suci tentang penciptaan manusia berasal dari satu pasangan, Adam dan Hawa.

Dalam kajian keilmuan, penelitian tidak pernah memberikan bantahan terhadap kehadiran manusia berawal sejak Adam dan Hawa diturunkan dari surga ke Bumi. Walakin, penelitian berusaha memberikan solusi alternatif agar manusia saat ini menyadari sepenuhnya bahwa kehadirannya di muka Bumi memiliki tanggung jawab besar sebagai pewaris keenam planet yang memiliki daya dukung kehidupan.

Apalagi sebagai seorang muslim, saya memiliki pandangan yang sama dengan muslim lainnya bahwa manusia merupakan khalifah di muka Bumi, penjaga sekaligus pemakmur Bumi.

Kepunahan Bumi dalam terma keagamaan disebut dengan kiamat atau armagedon merupakan salah satu cara alam untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada di planet Bumi demi keberlangsungan kehidupan organisme dari mikro hingga makhluk berukuran besar. Lama rentang waktu dari sebuah ledakan besar hingga kepunahan kelima diperkirakan selama 10 sampai 11 miliar tahun lamanya. Waktu yang cukup panjang bagi alam ini untuk menata dan membangun kembali apa pun yang ada di Bumi setelah setiap kepunahan dan kemusnahan.

Perdebatan mengenai apakah alam ini diciptakan atau muncul begitu saja tidak hanya terjadi antara para saintis dengan penganut agama, termasuk di dalam tubuh para saintis sendiri. Namun dari sekian perdebatan yang saya ikuti dapat ditarik kesimpulan bahwa alam ini cenderung diciptakan berdasarkan formula yang tepat, rumus-rumus berdasarkan tetapan semesta, dan terstruktur secara sistematis.

Dalam bahasa Leibniz, apapun yang terjadi di alam ini, peristiwa alam, dan kepelbagaian di alam telah disematkan oleh Tuhan sejak semula alam ini diciptakan. Perlu dicatat, Leibniz seorang matematikawan penganut agnostik, artinya dia meyakini ada atau tidak adanya Tuhan memang belum dapat dibuktikan melalui penelitian.

Perdebatan para saintis tentang alam dan Tuhan pada akhirnya mendorong kita untuk berpikir lebih jernih, bagaimana mengkompromikan dan mengakomodasikan antara dalil-dalil dalam wahyu dengan pengetahuan, termasuk terhadap hal paling krusial yang saat ini sedang dihadapi oleh manusia, pemusnahan keenam planet Bumi.

Proses pemusnahan planet Bumi sedang berlangsung sejak Bumi mereformasi ulang kehidupan setelah hujan meteor pada 200 juta tahun lalu.

Perlu diketahui, kepunahan disebabkan oleh anomali-anomali yang terjadi di muka Bumi yang disebabkan oleh tindakan makhluk tertinggi di muka bumi dalam mengeksploitasi sumber daya alam. Tak dapat ditawar lagi, maka alam pun secara sepihak mengambil peran untuk menyelesaikan masalah yang ada di Bumi.

Dengan bahasa lain dapat saya sebutkan, tanpa kepunahan dan kemusnahan di masa lalu, kemungkinan besar manusia tidak akan pernah menjadi pemegang kehidupan di planet ini.

Era Holosen dan Antroposen

Pada beberapa paragraf sebelumnya saya menyebutkan proses pemusnahan keenam planet Bumi mulai berlangsung pada 200 juta tahun lalu. Selama rentang waktu sejak hantaman meteor membuat Bumi rusak, kemudian alam mengambil alih masalah, memperbaiki kembali struktur dirinya, memulihkan mahluk-mahluk hidup melalui seleksi alam dan evolusi, termasuk melakukan pemulihan terhadap lapisan geosfer.

Kerja alam ini telah menghasilkan sesuatu paling menakjubkan dan mendukung kehidupan manusia yaitu keseimbangan dan keselarasan seluruh penghuni Bumi. Tidak terjadi penurunan dan peningkatan suhu secsra ekstrim, cuaca terus berjalan stabil selama 200 tahun, tidak ada kerusakan ekologis, dan iklim berjalan normal, hingga pergantian mucim pun dapat ditebak oleh manusia terdahulu.

Keseimbangan alam ini telah meningkatkan kemampuan manusia. Keteraturan iklim dan musim berdampak baik bagi manusia dalam bercocok tanam, kapan waktu yang tepat untuk menanam dan kapan saat yang baik untuk memanen hasil pertanian. Keanekaragaman hayati di Bumi juga berdampak baik terhadap pembangunan sosial kultural manusia.

Manusia yang tinggal di tempat dengan keberlimpahan sumber daya alam dan lingkungan sejuk cenderung menghasilkan peradaban yang tinggi karena memiliki waktu luang untuk tidak sekedar memikirkan dirinya sendiri, juga memikirkan bagaimana membangun koordinasi untuk dapat hidup bersama. Di era holosen, tidak akan kita jumpai manusia mengeluhkan cuaca panas, suhu cenderung stabil, naik dan turun suhu hanya sebesar 1 derajat celcius saja.

Era holosen mulai runtuh sejak revolusi agrikultur dan terus berlanjut sampai sekarang. Penemuan sumber mineral fosil kemudian digunakan oleh manusia untuk menggerakkan mesin-mesin pabrik dan kendaraan telah menghasilkan emisi karbon berlebihan. Di abad ke 17 tidak terjadi perubahan suhu ekstrim mengingat pada zaman itu keberadaan hutan belantara sekitar 70% menyelimuti daratan Bumi.

Keberadaan vegetasi alami dan satwa-satwa yang beraneka ragam menjadi penyeimbang alam, gas karbon yang dihasilkan dari emisi bahan bakar fosil ditangkap kembali oleh tumbuhan dan disalurkan ke tempat yang seharusnya: di dalam tanah.

Penemuan dan penggunaan bahan bakar fosil menjadi penanda babak baru, era antroposen, perubahan alam di berbagai bidang oleh tindakan manusia. Penemuan-penemuan baru oleh manusia sejak abad ke 17 sampai tahun 1990-an lebih banyak digunakan untuk mengeksploitasi alam, mengubah iklim sosial dan kultural masyarakat, dan berdampak terhadap kerusakan ekologis.

Sisi buruk teknologi ketika dipegang oleh manusia yang tidak tepat dan hanya mengeruk keuntungan finansial telah menghabiskan vegetasi alami, deforestasi dan penggundulan hutan terjadi di mana-mana, dan pencemaran lingkungan. Jika sebelumnya daratan planet Bumi ini diselimuti oleh 70% tumbuhan, sekarang hanya menyisakan sekitar 45% saja.

Sampai tahun 90-an, orang Sukabumi belum merasakan gerah (ngelekeb) di malam hari. Sukabumi mendapatkan julukan kulkas gede karena cuaca sejuk dan dingin. Pada tahun itu, Bumi justru sedang mulai memasuki era yang tidak pernah kita kenal sebelumnya: pemanasan global yang dicitikan oleh perubahan suhu yang tidak menentu. Rata-rata kenaikan suhu sejak tahun 1990 sampai sekarang yaitu 4 derajat celcius. Artinya, jika sebelumnya, suhu terendah Sukabumi di angka 21 derajat celcius, saat ini telah mencapai 25 derajat celcius. Begitu juga pada suhu tertinggi mengalami kenaikan dari 28 hingga 33 derajat celcius.

Perubahan suhu ekstrim ini disebabkan oleh banyak hal; pelepasan gas karbon, gas rumah kaca, alih fungsi lahan dari lahan terbuka hijau menjadi pemukiman. Penggunaan kendaraan bermesin oleh manusia yang terus meningkat telah menghasilkan emisi karbon berlebih. Karbon tidak dapat dikembalikan ke dalam tanah karena lahan terbuka hijau telah berubah menjadi areal pemukiman.

Tak mengherankan, kondisi saat ini dirasakan lebih panas dan gerah dari 30 tahun sebelumnya. Deforsifikasi pengolahan lahan tanpa menanami tumbuhan tingkat tinggi pada suatu lahan telah membantu pelepasan karbon ke atmosfer dan ini telah memicu peningkatan panas pada lapisan Bumi paling luar.

Pemukiman beton yang terus digalakkan melalui program perumahan atas alasan kebutuhan papan menjadi penyumbang kemunculan pemanasan global. Padahal leluhur Sunda telah memberikan contoh konsep yang tepat pembuatan pemukiman dan jenis bangunan yang ramah lingkungan, yaitu arsitektur rumah panggung. Hanya saja, kearifan lokal ini telah kita abaikan dan dicap kuno oleh manusia modern yang menyanjung betonisasi.

Pada prinsipnya, manusia memang melakukan kolaborasi dalam melakukan pengrusakan alam. Jalan aspal dan beton dibangun untuk memfasilitasi gerak kendaraan bermesin yang melahirkan emisi karbon. Manusia membuat pemukiman dan betonisasi sama artinya dengan tidak menyediakan ruang yang tepat agar gas karbon ditangkap oleh tumbuhan.

Cuaca panas dan gerah yang disebabkan oleh kerusakan lingkungan secara perlahan telah mengubah lingkungan sosial kultural manusia; kecemasan, stres, mudah marah, dan tidak sabar merupakan tipikal masyarakat yang mendiami tempat-tempat panas dan berbeton. Watak manusia menjadi sekeras beton karena kita memang tidak pernah lepas dari penjara beton. Kaki manusia setiap hari bersentuhan langsung dengan beton tanpa mengenal tanah. Maka dalam masyarakat kita muncul individu yang egois, manusia yang akan menjadi agen kerusakan alam.

Manusia memang telah melakukan ikhtiar melalui seminar dan pertemuan tentang perubahan iklim. Namun ikhtiar ini memerlukan keterlibatan seluruh manusia. Ikhtiar ini dilakukan dengan menciptakan apapun yang ramah lingkungan. Tanpa upaya bersama dan berkelanjutan, pada tahun 2040 nanti kemungkinan besar Bumi akan benar-benar mulai mengalami fase pembentukan lahan tandus, perang saudara akibat kekurangan pangan, dan suhu rata-rata hingga 35 derajat celcius.

Kepunahan keenam tidak lagi disebabkan oleh hujan meteor, melainkan oleh sikap abai dan teledor manusia dalam memosikan dirinya sebagai khalifah atau penjaga planet Biru ini. Perbuatan kita di masa sekarang, akan berdampak pada anak dan cucu kita di masa depan. Sungguh, kita tidak mengharapkan masa depan anak dan cucu kita dihantui oleh hujan badai kemudian tiba-tiba panas, badai pasir, dan peristiwa alam ekstrim lainnya.

Posting Komentar untuk "Manusia: Pewaris Keenam Alam Semesta"