Hari Minggu, 21 Januari 2024, pukul 20.00 WIB, saya bersama dua orang teman; Kang Fadhil dan Kang Bolang berangkat menuju ke Kota Bandung.
Untuk menghilangkan kekecewaan, kami terpaksa mengikuti jejak langkah Kang Bolang, membeli cuanki plus mie rebus. Sambil memakan cuanki, dari jarak 20 meter, kami terus memperhatikan lapak penjual nasi goreng asin Cimanuk. Tentu saja dengan tetap tersenyum.
Beruntung sekali, di era keterhubungan dan konektivitas fasilitas transportasi ini, siapa pun dapat dengan mudah memilih waktu dan moda transportasi umum yang dapat mengantarkan kita ke tempat tujuan.
Berbeda dengan beberapa tahun lalu, apalagi dua hingga tiga dekade lalu. Moda transportasi masih terbilang konvensional, masyarakat tidak memiliki pilihan untuk menentukan waktu keberangkatan ke tempat tujuan. Mereka harus duduk menunggu bus di terminal atau di halte.
Keuntungan lain yang kita dapatkan di era konektivitas ini, tiket transportasi dapat dipesan secara daring, selanjutnya kita hanya perlu mengkonfirmasi ke kantor travel, membayar tiket dengan harga Rp. 80 ribu, dan sudah siap berangkat.
Berbeda dengan beberapa tahun lalu, apalagi dua hingga tiga dekade lalu. Moda transportasi masih terbilang konvensional, masyarakat tidak memiliki pilihan untuk menentukan waktu keberangkatan ke tempat tujuan. Mereka harus duduk menunggu bus di terminal atau di halte.
Keuntungan lain yang kita dapatkan di era konektivitas ini, tiket transportasi dapat dipesan secara daring, selanjutnya kita hanya perlu mengkonfirmasi ke kantor travel, membayar tiket dengan harga Rp. 80 ribu, dan sudah siap berangkat.
Kelebihan penyedia transportasi publik seperti Siliwangi Trans ini yaitu ketepatan waktu keberangkatan. Tidak perlu menunggu penumpang penuh, mobil langsung melaju ke tempat tujuan.
Kami tiba di Bandung sekitar pukul 23.00 WIB, turun dari mobil tepat di depan kampus Institut Teknologi Bandung. Hanya perlu menunggu 10 menit, kemudian kami diantar ke Hotel Vio Cimanuk.
Kami tiba di Bandung sekitar pukul 23.00 WIB, turun dari mobil tepat di depan kampus Institut Teknologi Bandung. Hanya perlu menunggu 10 menit, kemudian kami diantar ke Hotel Vio Cimanuk.
Secara pribadi, saya tidak terlalu risih dengan jenis dan tipe hotel, apakah bertaraf lokal, nasional, internasional, bahkan hingga multinasional sekalipun. Yang penting dapat istirahat dan tidur. Bahkan dalam kondisi tertentu, tidur di masjid pun tak jadi soal.
Bandung memang belum dikategorikan sebagai sebuah mega-kota. Namun kemiripan aktivitas di malam hari, antara megakota dengan Bandung ini sudah tidak jauh berbeda. Sampai pukul 23.30 bahkan dapat saja sampai dini hari nanti, beberapa titik di kota ini tetap hidup dan memperlihatkan keriuhan.
Saya, Kang Fadhil, dan Kang Bolang bergegas keluar dari hotel untuk mencari makan di sekitar Cimanuk. Kami melalui sebuah taman kota. Kursi-kursi dari kayu terlihat membeku, pepohonan dingin, dan beruntung sekali, malam itu hujan tidak turun.
Beberapa penjual makanan sudah mulai pada tutup. Jadi, kami hanya memiliki tiga pilihan jajanan; nasi goreng, nasi ayam, dan cuanki. Saya dan Kang Fadhil memilih nasi goreng, sementara Kang Bolang memilih membeli cuanki. Ya, kami memilih nasi goreng asin ala Cimanuk, tanpa dibumbui dengan kata “spesial”.
Atas pilihan inilah, beberapa menit kemudian tersaji dua piring nasi goreng dengan ornamen telur dadar pada bagian atasnya, mentimun di tepian piring, dan acar manis menjadi pemanis nasi goreng asin yang siap kami santap.
Dan tapat sekali!!! Rasanya memang asin!!! Saya berbisik kepada Kang Fadhil, memberi komentar terhadap cita rasa nasi goreng ala Cimanuk ini. “Dikira saya, antara judul pada menu dengan rasa nasgor ini beda, hehehe!”.
Jadi, dalam kondisi tertentu, antara apa yang ditawarkan pada menu dengan rasa sebenarnya sebuah makanan dapat saja berbeda. Misalnya, saat pada menu tertulis Nasi Goreng Asin, mungkin kadar asinnya itu ada di batas normal saja. Maksudnya nasi goreng asin biasa tanpa ditambah dengan kecap manis.
Bandung memang belum dikategorikan sebagai sebuah mega-kota. Namun kemiripan aktivitas di malam hari, antara megakota dengan Bandung ini sudah tidak jauh berbeda. Sampai pukul 23.30 bahkan dapat saja sampai dini hari nanti, beberapa titik di kota ini tetap hidup dan memperlihatkan keriuhan.
Saya, Kang Fadhil, dan Kang Bolang bergegas keluar dari hotel untuk mencari makan di sekitar Cimanuk. Kami melalui sebuah taman kota. Kursi-kursi dari kayu terlihat membeku, pepohonan dingin, dan beruntung sekali, malam itu hujan tidak turun.
Beberapa penjual makanan sudah mulai pada tutup. Jadi, kami hanya memiliki tiga pilihan jajanan; nasi goreng, nasi ayam, dan cuanki. Saya dan Kang Fadhil memilih nasi goreng, sementara Kang Bolang memilih membeli cuanki. Ya, kami memilih nasi goreng asin ala Cimanuk, tanpa dibumbui dengan kata “spesial”.
Atas pilihan inilah, beberapa menit kemudian tersaji dua piring nasi goreng dengan ornamen telur dadar pada bagian atasnya, mentimun di tepian piring, dan acar manis menjadi pemanis nasi goreng asin yang siap kami santap.
Dan tapat sekali!!! Rasanya memang asin!!! Saya berbisik kepada Kang Fadhil, memberi komentar terhadap cita rasa nasi goreng ala Cimanuk ini. “Dikira saya, antara judul pada menu dengan rasa nasgor ini beda, hehehe!”.
Jadi, dalam kondisi tertentu, antara apa yang ditawarkan pada menu dengan rasa sebenarnya sebuah makanan dapat saja berbeda. Misalnya, saat pada menu tertulis Nasi Goreng Asin, mungkin kadar asinnya itu ada di batas normal saja. Maksudnya nasi goreng asin biasa tanpa ditambah dengan kecap manis.
Untuk menghilangkan kekecewaan, kami terpaksa mengikuti jejak langkah Kang Bolang, membeli cuanki plus mie rebus. Sambil memakan cuanki, dari jarak 20 meter, kami terus memperhatikan lapak penjual nasi goreng asin Cimanuk. Tentu saja dengan tetap tersenyum.
Posting Komentar untuk " Nasgor Asin ala Cimanuk, Bandung"