Selama tiga tahun ini, saya sering mengatakan dan menulis bahwa sekolah merupakan lembaga ilmiah. Maka, apapun yang dikeluarkan dan dihasilkan baik tulisan, pandangan, atau ucapan harus berbasis data dan menerapkan kaidah-kaidah ilmiah. Dalam proses Penerimaan Peserta Didik Baru juga, pihak sekolah termasuk Dinas Pendidikan dan Kebudayaan harus memberikan dampak ilmiah terhadap aturan yang diterbitkan.
Lantas, apakah kaidah dan sikap ilmiah tersebut telah diejawantahkan dalam dunia pendidikan kita? PPDB tahun 2024 dapat dikatakan berbeda dengan tahun sebelumnya, hal ini dibuktikan dengan munculnya pernyataan dari para pemangku kebijakan di dunia pendidikan bahwa mereka akan tegak lurus dalam mematuhi aturan. Kemudian muncul lagi pertanyaan -terkesan provokatif- benarkah demikian, kepatuhan verbal dalam ucapan ini berbanding lurus dengan data dan aturan-aturan susulan yang dibuat setelah sistem PPDB berjalan?
Secara umum, aturan PPDB SMA dan SMK yang telah ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat bertujuan mengatur agar pelaksanaan PPDB tahun 2024 ini berjalan lancar dan kondusif. Hanya saja, penetapan aturan harus memerhatikan aspek penting dalam pendidikan; ilmiah, dapat dipertanggungjawabkan, berbasis data, menyoal psikologis dan kejiwaan orangtua serta peserta didik.
Sangat mustahil, lembaga ilmiah akan menghasilkan kebijakan dan aturan yang ilmiah dan memenuhi aspek-aspek di atas jika diterbitkan secara sporadis, salin tempel, temporal, dan tidak utuh. Faktanya, tidak sedikit para orangtua dan peserta didik yang mengenyampingkan aspek-aspek tersebut. Misalnya, saat PPDB Tahap Pertama dibuka, secara sporadis mereka langsung mendaftar, setelah mendaftar muncul kegelisahan, kecemasan, dan galau terhadap peluang mereka apakah akan diterima atau tidak pada tahap pertama ini.
Munculnya kecemasan dan kegelisahan yang disebabkan oleh sistem PPDB menunjukkan bahwa sistem yang dibangun ini memang masih belum memerhatikan aspek psikologis masyarakat dan mental mereka. Fenomena para orangtua dan siswa yang ikut mendaftar pada jalur zonasi, meskipun mereka mengetahui jarak tempat tinggal mereka ke sekolah tujuan itu jauh (misalnya: 3.000 meter), walakin mereka tetap ikut mendaftar adalah sikap tidak ilmiah yang dihasilkan oleh sistem yang kurang ilmiah.
Semestinya, pendaftaran melalui jalur zonasi tidak dilakukan oleh masyarakat dengan pikiran “semoga diterima”, “mudah-mudahan masuk”, karena mereka sudah tahu harus bersaing dengan ratusan siswa yang berdomisili lebih dekat dengan sekolah tujuan. Peluang mereka tentu saja sangat kecil untuk diterima melalui jalur zonasi.
Sikap dan tindakan ilmiah dalam PPDB penting dimiliki agar pelaksanaannya berjalan obyektif, transparan, dan mudah dipahami oleh masyarakat. Sikap obyektif ini termasuk dalam memahami aturan dan ketentuan yang berlaku selama proses PPDB.
Saya contohkan satu kasus, ketika sekolah, dalam hal ini panitia, tidak tepat dalam menafsirkan aturan dan ketentuan yang diberlakukan selama proses validasi data justru dapat merugikan pendaftar. Salah seorang teman mengeluh karena pendaftaran anaknya melalui jalur zonasi tidak divalidasi oleh panitia PPDB hanya karena tidak melengkapi dokumen yang telah ditentukan.
Pendaftaran anak teman saya tidak divalidasi hanya karena tidak melampirkan dokumen: Surat Keterangan Bercerai dan Surat Keterangan Meninggal. Ketentuan dalam Jalur Zonasi Tahun 2024 memang mensyaratkan pendaftar harus mengunggah beberapa dokumen seperti Surat Pernyataan Hak Asuh Anak, Surat Keterangan Kematian Jika Orangtua Telah Meninggal Dunia, dan Surat Keterangan Cerai Jika Orangtua Telah Bercerai.
Dengan tidak merendahkan kemampuan panitia dalam menafsirkan ketentuan di atas, seharusnya panitia tetap memvalidasi pendaftar. Alasannya termaktub secara lugas dalam ketentuan tersebut bahwa kewajiban melampirkan dua surat keterangan tersebut dilengkapi dengan kata syarat “Jika”.
Informasi ini saya terima setelah jalur Zonasi diumumkan. Panitia PPDB juga sudah tentu bersikukuh pada hasil yang telah diumumkan. Fakta ini, tentu sangat merugikan pendaftar karena tidak divalidasi di masa pendaftaran. Ini salah satu contoh masalah jika sekolah dan panitia tidak tepat dalam menafsirkan ketentuan.
Sejauh ini, konsistensi data masih terlihat. Hanya saja, beberapa SMA Negeri masih menampilkan kuota sebanyak 432 siswa padahal ada beberapa sekolah yang menetapkan aturan baru terkait Zonasi Khusus bagi pendaftar dari kecamatan yang belum memiliki SMA Negeri.
Data yang saya ambil dari situs web resmi PPDB Provinsi Jawa Barat untuk SMA Negeri di Kota Sukabumi sebagai berikut: jumlah total pendaftar dari semua jalur yaitu 4.230 siswa, dan jumlah total yang diterima sebanyak: 2.181. Dari data ini dapat diestimasikan, jumlah siswa yang tidak diterima dari semua jalur yaitu 1.304 siswa karena para siswa yang tidak diterima pada jalur Tahap Pertama dapat dipastikan mendaftar kembali pada Tahap Kedua.
Pendaftar dari Kabupaten Sukabumi diterima dalam sistem PPDB hampir separuhnya (45%) melalui jalur Prestasi Rapor. Di sisi lain, terdapat anomali dalam jalur Rapor ini: Pertama, satu sekolah swasta dapat menempatkan 17 siswa di salah satu SMA, sementara beberapa SMP Negeri di Kota Sukabumi sama sekali tidak menempatkan satu orang pun siswa mereka di SMA yang sama.
Kedua, sekolah Swasta dengan kondisi infrastruktur dan sumber daya yang tidak sebanding dengan SMP-SMP Negeri memiliki nilai rapor lebih tinggi daripada beberapa siswa SMP Negeri yang memiliki infrastruktur dan sumber daya sangat lengkap. Anomali seperti ini tentu akan berdampak pada opini dan praduga, proses pemberian nilai oleh para guru di beberapa sekolah sengaja ditingkatkan agar para siswa dapat diterima di SMA Negeri tujuan. Jika benar terjadi, maka sikap ini merupakan tindakan tidak ilmiah dan bentuk kecurangan laten. Hal yang sangat bertolak belakang dengan tujuan pendidikan.
Proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) merupakan momen penting bagi para siswa dan orang tua. Namun, di balik hiruk-pikuknya, PPDB juga dapat meninggalkan luka psikologis bagi mereka yang tidak diterima di sekolah yang diinginkan. Dampak ini perlu dikaji secara serius dan tidak boleh diabaikan.
Bagi siswa yang tidak diterima, rasa kecewa dan frustrasi adalah hal yang wajar. Mereka mungkin merasa tidak berharga, tidak mampu, dan kehilangan harapan untuk meraih masa depan yang gemilang. Hal ini dapat berakibat pada penurunan motivasi belajar, hilangnya minat terhadap pendidikan, dan bahkan depresi.
Orang tua pun tak luput dari dampak psikologis. Keinginan mereka untuk melihat anak-anaknya sukses di sekolah terbaik bisa berujung pada tekanan dan ekspektasi yang berlebihan. Hal ini dapat memperburuk kondisi emosional anak dan memperparah rasa kecewa mereka.
Dampak psikologis PPDB tidak hanya terbatas pada individu, tetapi juga dapat berdampak pada sistem pendidikan secara keseluruhan. Siswa yang mengalami trauma mungkin akan enggan melanjutkan pendidikan, atau bahkan memilih untuk keluar dari sekolah. Hal ini dapat menghambat upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan menciptakan generasi penerus bangsa yang tangguh.
Oleh karena itu, penting untuk mengambil langkah-langkah pencegahan dan memberikan dukungan bagi mereka yang terdampak psikologis oleh PPDB. Berikut beberapa langkah yang dapat dilakukan: Pertama, menciptakan berbagai jalur pendidikan yang berkualitas dan tidak mahal, sehingga siswa memiliki lebih banyak pilihan dan tidak terpaku pada sekolah negeri saja. Kedua, meningkatkan kesadaran masyarakat tentang dampak psikologis PPDB dan mendorong terciptanya sistem pendidikan yang lebih humanis dan berpusat pada anak.
PPDB seharusnya menjadi gerbang menuju masa depan yang cerah, bukan menjadi sumber trauma dan luka bagi siswa dan orang tua. Dengan memahami dan menangani dampak psikologisnya, kita dapat menciptakan proses PPDB yang lebih adil dan berpihak pada anak.
Lantas, apakah kaidah dan sikap ilmiah tersebut telah diejawantahkan dalam dunia pendidikan kita? PPDB tahun 2024 dapat dikatakan berbeda dengan tahun sebelumnya, hal ini dibuktikan dengan munculnya pernyataan dari para pemangku kebijakan di dunia pendidikan bahwa mereka akan tegak lurus dalam mematuhi aturan. Kemudian muncul lagi pertanyaan -terkesan provokatif- benarkah demikian, kepatuhan verbal dalam ucapan ini berbanding lurus dengan data dan aturan-aturan susulan yang dibuat setelah sistem PPDB berjalan?
Secara umum, aturan PPDB SMA dan SMK yang telah ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat bertujuan mengatur agar pelaksanaan PPDB tahun 2024 ini berjalan lancar dan kondusif. Hanya saja, penetapan aturan harus memerhatikan aspek penting dalam pendidikan; ilmiah, dapat dipertanggungjawabkan, berbasis data, menyoal psikologis dan kejiwaan orangtua serta peserta didik.
Sangat mustahil, lembaga ilmiah akan menghasilkan kebijakan dan aturan yang ilmiah dan memenuhi aspek-aspek di atas jika diterbitkan secara sporadis, salin tempel, temporal, dan tidak utuh. Faktanya, tidak sedikit para orangtua dan peserta didik yang mengenyampingkan aspek-aspek tersebut. Misalnya, saat PPDB Tahap Pertama dibuka, secara sporadis mereka langsung mendaftar, setelah mendaftar muncul kegelisahan, kecemasan, dan galau terhadap peluang mereka apakah akan diterima atau tidak pada tahap pertama ini.
Munculnya kecemasan dan kegelisahan yang disebabkan oleh sistem PPDB menunjukkan bahwa sistem yang dibangun ini memang masih belum memerhatikan aspek psikologis masyarakat dan mental mereka. Fenomena para orangtua dan siswa yang ikut mendaftar pada jalur zonasi, meskipun mereka mengetahui jarak tempat tinggal mereka ke sekolah tujuan itu jauh (misalnya: 3.000 meter), walakin mereka tetap ikut mendaftar adalah sikap tidak ilmiah yang dihasilkan oleh sistem yang kurang ilmiah.
Semestinya, pendaftaran melalui jalur zonasi tidak dilakukan oleh masyarakat dengan pikiran “semoga diterima”, “mudah-mudahan masuk”, karena mereka sudah tahu harus bersaing dengan ratusan siswa yang berdomisili lebih dekat dengan sekolah tujuan. Peluang mereka tentu saja sangat kecil untuk diterima melalui jalur zonasi.
Sikap dan tindakan ilmiah dalam PPDB penting dimiliki agar pelaksanaannya berjalan obyektif, transparan, dan mudah dipahami oleh masyarakat. Sikap obyektif ini termasuk dalam memahami aturan dan ketentuan yang berlaku selama proses PPDB.
Saya contohkan satu kasus, ketika sekolah, dalam hal ini panitia, tidak tepat dalam menafsirkan aturan dan ketentuan yang diberlakukan selama proses validasi data justru dapat merugikan pendaftar. Salah seorang teman mengeluh karena pendaftaran anaknya melalui jalur zonasi tidak divalidasi oleh panitia PPDB hanya karena tidak melengkapi dokumen yang telah ditentukan.
Pendaftaran anak teman saya tidak divalidasi hanya karena tidak melampirkan dokumen: Surat Keterangan Bercerai dan Surat Keterangan Meninggal. Ketentuan dalam Jalur Zonasi Tahun 2024 memang mensyaratkan pendaftar harus mengunggah beberapa dokumen seperti Surat Pernyataan Hak Asuh Anak, Surat Keterangan Kematian Jika Orangtua Telah Meninggal Dunia, dan Surat Keterangan Cerai Jika Orangtua Telah Bercerai.
Dengan tidak merendahkan kemampuan panitia dalam menafsirkan ketentuan di atas, seharusnya panitia tetap memvalidasi pendaftar. Alasannya termaktub secara lugas dalam ketentuan tersebut bahwa kewajiban melampirkan dua surat keterangan tersebut dilengkapi dengan kata syarat “Jika”.
Informasi ini saya terima setelah jalur Zonasi diumumkan. Panitia PPDB juga sudah tentu bersikukuh pada hasil yang telah diumumkan. Fakta ini, tentu sangat merugikan pendaftar karena tidak divalidasi di masa pendaftaran. Ini salah satu contoh masalah jika sekolah dan panitia tidak tepat dalam menafsirkan ketentuan.
Sejauh ini, konsistensi data masih terlihat. Hanya saja, beberapa SMA Negeri masih menampilkan kuota sebanyak 432 siswa padahal ada beberapa sekolah yang menetapkan aturan baru terkait Zonasi Khusus bagi pendaftar dari kecamatan yang belum memiliki SMA Negeri.
Data yang saya ambil dari situs web resmi PPDB Provinsi Jawa Barat untuk SMA Negeri di Kota Sukabumi sebagai berikut: jumlah total pendaftar dari semua jalur yaitu 4.230 siswa, dan jumlah total yang diterima sebanyak: 2.181. Dari data ini dapat diestimasikan, jumlah siswa yang tidak diterima dari semua jalur yaitu 1.304 siswa karena para siswa yang tidak diterima pada jalur Tahap Pertama dapat dipastikan mendaftar kembali pada Tahap Kedua.
Pendaftar dari Kabupaten Sukabumi diterima dalam sistem PPDB hampir separuhnya (45%) melalui jalur Prestasi Rapor. Di sisi lain, terdapat anomali dalam jalur Rapor ini: Pertama, satu sekolah swasta dapat menempatkan 17 siswa di salah satu SMA, sementara beberapa SMP Negeri di Kota Sukabumi sama sekali tidak menempatkan satu orang pun siswa mereka di SMA yang sama.
Kedua, sekolah Swasta dengan kondisi infrastruktur dan sumber daya yang tidak sebanding dengan SMP-SMP Negeri memiliki nilai rapor lebih tinggi daripada beberapa siswa SMP Negeri yang memiliki infrastruktur dan sumber daya sangat lengkap. Anomali seperti ini tentu akan berdampak pada opini dan praduga, proses pemberian nilai oleh para guru di beberapa sekolah sengaja ditingkatkan agar para siswa dapat diterima di SMA Negeri tujuan. Jika benar terjadi, maka sikap ini merupakan tindakan tidak ilmiah dan bentuk kecurangan laten. Hal yang sangat bertolak belakang dengan tujuan pendidikan.
Proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) merupakan momen penting bagi para siswa dan orang tua. Namun, di balik hiruk-pikuknya, PPDB juga dapat meninggalkan luka psikologis bagi mereka yang tidak diterima di sekolah yang diinginkan. Dampak ini perlu dikaji secara serius dan tidak boleh diabaikan.
Bagi siswa yang tidak diterima, rasa kecewa dan frustrasi adalah hal yang wajar. Mereka mungkin merasa tidak berharga, tidak mampu, dan kehilangan harapan untuk meraih masa depan yang gemilang. Hal ini dapat berakibat pada penurunan motivasi belajar, hilangnya minat terhadap pendidikan, dan bahkan depresi.
Orang tua pun tak luput dari dampak psikologis. Keinginan mereka untuk melihat anak-anaknya sukses di sekolah terbaik bisa berujung pada tekanan dan ekspektasi yang berlebihan. Hal ini dapat memperburuk kondisi emosional anak dan memperparah rasa kecewa mereka.
Dampak psikologis PPDB tidak hanya terbatas pada individu, tetapi juga dapat berdampak pada sistem pendidikan secara keseluruhan. Siswa yang mengalami trauma mungkin akan enggan melanjutkan pendidikan, atau bahkan memilih untuk keluar dari sekolah. Hal ini dapat menghambat upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan menciptakan generasi penerus bangsa yang tangguh.
Oleh karena itu, penting untuk mengambil langkah-langkah pencegahan dan memberikan dukungan bagi mereka yang terdampak psikologis oleh PPDB. Berikut beberapa langkah yang dapat dilakukan: Pertama, menciptakan berbagai jalur pendidikan yang berkualitas dan tidak mahal, sehingga siswa memiliki lebih banyak pilihan dan tidak terpaku pada sekolah negeri saja. Kedua, meningkatkan kesadaran masyarakat tentang dampak psikologis PPDB dan mendorong terciptanya sistem pendidikan yang lebih humanis dan berpusat pada anak.
PPDB seharusnya menjadi gerbang menuju masa depan yang cerah, bukan menjadi sumber trauma dan luka bagi siswa dan orang tua. Dengan memahami dan menangani dampak psikologisnya, kita dapat menciptakan proses PPDB yang lebih adil dan berpihak pada anak.
Posting Komentar untuk "PPDB: Antara Konsistensi Data, Aturan “Tegak Lurus”, dan Psikologis Siswa"