Lamplight: Membahasakan Cinta



Alons viens encore cherie
J’attendrai ans après ans sous la lampe dans la vieille avenue.

Then I may end
She had things to buy
I close my eyes
Yet I don’t know why
I gave her money; said she knew someone
And she said she won’t be long

Lamplights, keep on burning while this heart of mine is yearning
Lamplights, keep on burning till this love of yours is mine



Gie pernah menulis sebuah puisi, tentang orang-orang yang berziarah. Mereka- orang-orang itu- berziarah ke tempat-tempat jauh hanya untuk menjumpai apa yang mereka cintai, mereka rindukan. Tapi, ziarah Gie hanya untuk seseorang yang kelak akan mengasihinya, dalam keadaan dan kondisi apa pun. 

Puisi Gie ini diingat betul oleh Saya. Saya bukan siapa-siapa, hanya seorang lelaki – kalian bisa mengira, Saya sebagai seorang lelaki penderita-. Ya, bagi sebagian orang yang dipenuhi oleh optimisme dalam hidup, terlalu melankolis ungkapan ini dialamatkan kepada diri saya, seorang lelaki penderita. 

Jika tidak demikian, maka Saya akan menyebut, Saya sebagai lelaki melodramatik, agar pembahasaannya bisa dicerna oleh orang-orang pintar seperti kalian.

Seorang teman pernah berujar, lelaki melodramatik akan mudah terkulai karena idealismenya sendiri. Terkulai seperti mawar kering tanpa air. Disebutlah oleh temanku itu, sebuah penyakit platonik, sebuah penyakit ketika manusia mati ditelah oleh idelismenya sendiri. Manusia yang meninggal sambil menelan kepahitan yang ditelannya sendiri. 

Seseorang yang rela meninggal hanya karena memendam rasa sayang kepada orang yang dikaguminya. Namun, hal tersebut tidak mungkin terjadi pada diri Saya. Sikap melodramatik ini selalu saya pararelkan dengan realitas dan fakta-fakta kehidupan. Maka, tuduhan sebagai lelaki melodramatik kepada Saya minimal telah terminimalisasi, tidak melodramatik tulen.

Semua orang memiliki idelisme, keyakinan dalam hidup. Sejak kecil, keyakinan yang tertanam dalam diri Saya adalah rasa penasaran dan haus terhadap berbagai ilmu. Buku-buku dalam rak perpustakaan entah itu buku-buku suci atau pun buku yang dianggap sesat dan menyesatkan pernah Saya lahap.

Thus, Spoken of Zaratustra karya Nietczhe Saya baca ketika duduk di bangku SMP kelas 2, jelas sekali, Saya tidak memahami apa maksud dari syair-syair Zaratustra tersebut. Hanya karena Saya senang membacalah hal itu terjadi. 

Idealisme itu tumbuh bukan liar, melainkan memenjarakan pikiran-pikiran Saya, terkumpul dalam diri Saya, membentuk labirin panjang kemudian menyudut pada sebuah ruangan- bukan klandestin- tapi hidup manusia harus bisa terpisah antara kebohongan dengan kejujuran. 

Ini tentu saja hal baik, namun ketika idealisme semakin menyempit, akan memengaruhi terhadap lahirnya sikap ekslusif dalam diri, seperti kebanyakan para filsuf yang hidup dalam ruang-ruang pemikirannya sendiri, bahkan sampai meninggal ditelah oleh pemikirannya sendiri.

Kedewasaan sebuah idealisme tersebut tentu saja terus tumbuh dan berkembang, tidak liar, tapi harus dipagari oleh hal lain yang lebih lurus, bahwa kehidupan ini berjalan telah berada pada rel dan jalur yang benar. Jalur itu adalah jalan panjang dan berliku, tidak selalu lurus. 

Kehidupan inilah yang bisa memagari realita. Seorang lelaki atau perempuan melodramatik, mereka tetap hidup di dunia dan harus memenuhi diri dengan realita luas yang telah disediakan oleh Tuhan di dunia ini. 

Manusia harus berbaur dengan manusia lainnya, ada benarnyanya Cicero menuliskan Non Nobis Solum Nati Sumus, semua manusia tidak hidup untuk dirinya sendiri. Berteman, bersahabat , bahkan hidup bahagia dengan orang yang kita kasihi merupakan pagar utama yang bisa membebaskan kita dari imajinasi dan fantasi liar sebuah idealisme.

Pun terjadi pada diri Saya, sebagai seorang lelaki, cinta pernah hadir dalam diri Saya, bisa ditafsirkan ratusan puluhan bahkan entah berapa kali. Jika hidup memang pilihan, maka di sana banyak sekali pilihan yang harus dijalani, kesalahan terbesar adalah ketika manusia menyamakan antara pilihan dengan pilih-pilih. 

Kubangan kecil dari hal tersebut adalah harusnya manusia menjalin hubungan hingga ke jenjang pernikahan lalu hidup berkeluarga. Itu pilihan semu aksiomatik dalam hidup. Manusia tidak harus hidup dalam kepalsuan cinta ala Plato, meninggal hanya karena memendam rasa sayang kepada seorang wanita tanpa mau berani mengugkapkannya. 

Walakin hal itu tidak lah -melulu- salah, jika kita telah berhasil menembus dinding monisme dan menjadi seorang pertapa yang mengkhidmatkan hidup hanya untuk Tuhan dan kebenaran.

Bahasa cinta ini bukan sekadar menyentuh ranah idealisme, juga menembus realitas. Segala sesuatu tentu harus dibahasakan dan dikomunikasikan agar kehidupan semakin jelas, agar arah diri dan pemikiran kita menjadi lebih jelas. 

Supaya semangat hidup tidak terpendam dalam diri kita sendiri. Dan membahasakan cinta itu tentu harus kepada orang yang tepat. 

Orang yang akan mudah kita fahami dan mudah memahami bahasa kehidupan kita. Jika bertolak belakang, maka di sana kita sangat memebutuhkan waktu yang lama untuk saling memahami apa maksud dari bahasa tersebut.

Dua minggu lalu, jalan menuju Gunung Lonceng semakin berdebu, celah bebatuan semakin terlihat menganga karena erosi. Udara sore hari begitu hangat. Hanya beberapa orang yang lewat di jalan berbatu yang mengepulkan debu itu. Curam dan menanjak. 

Udara begitu hangat, angin berhembus agak kencang, pohon-pohon jati tumbuh semakin meninggi. Di lereng gunung, ada sebuah warung, orang-orang sering menyibukkan diri bercengkerama di warung itu. Pemilik warung adalah seorang nenek.

Bukan tanpa alasan seminggu lalu Saya bersama seorang kawan mendatangi tempat tersebut. Penggerak utamanya adalah betapa sulit manusia mengukur ada hal lain yang menyebabkan manusia harus berada di sebuh tempat. 

Tapi keterukuran itu menjadi jelas, saat alam pikiran manusia menyadari siapa dan jenis apa pun manusia akan selalu merindukan keindahan. 

Bahkan, dalam kitab suci semua agama dideskripsikan keindahan sorga selalu dibandingluruskan dengan indahnya alam dengan pepohonan rimbun dan aliran sungai berair jernih. Keindahan alam pegunungan itu lah yang telah menggerakkan hati Saya untuk mendatangi tempat itu.

Di kaki gunung, para penduduk berladang dan berkebun. Di salah satu rumah, di pinggir jalan menuju Gunung Lonceng, seorang penduduk sedang memasarkan hasil cocok tanamnya, ubi jalar dan pisang.

Sebagian besar penduduk di kaki gunung tersebut telah dipilih oleh Tuhan untuk menjaga alam dengan menjadi petani. Lahan begitu luas, tinggal ditanam, kemudian dibagi berpetak-petak. 

Sebagian besar lahan di lereng gunung memang telah diaku oleh penduduk setempat sebagai tanah milik pribadi dan garapan tetap. Bahkan untuk tanah-tanah di kaki gunung telah banyak yang dijual kepada orang luar dengan harga begitu murah. 

Dari penuturan pemilik warung, seorang penduduk pernah menjual tanah 20 are dengan harga hanya 5 juta, itu telah termasuk pepohonan yang tumbuh di atas lahan tersebut.

Cakrawala berpikir Saya semakin mengerucut dan mengerdil saat melihat betapa luas dan hebatnya Tuhan dalam membangun kontruksi alam ini. Kekerdilan itu semakin mengerucut ketika Saya sebagai seorang manusia pernah berdiri di bawah sebuah pohon besar, disinari oleh seberkas sinar dari lampu kecil. 

Pikiran itu pun semakin mengecil saat kehidupan ini begitu kompleks, saat Tuhan menciptakan hal-hal yang kita anggap rumit namun pada alam realitas benar-benar mewujud nyata. 

Kemudian dibandingkan dengan masalah kecil yang sedang dihadapi oleh diri kita, muncul sebuah kesimpulan, kita terlalu mudah merumitkan persoalan hidup yang tidak rumit atau adakalanya kita terlalu mudah menganggap sepele satu persoalan yang sebetulnya membutuhkan pemikiran lebih detil dan utuh. 

Itulah kita, itulah Saya, itulah manusia. Kita hanya bisa berdiri di bawah sinar cahaya dan lampu redup sambil menunggu keluarnya matahari. Karena kita takut melangkang di keremangan dan kegelapan malam.

Ketika di puncak Gunung Lonceng, segalanya semakin terkuak, persoalan hidup yang dihadapi oleh manusia masih tidak sebanding dengan kemahakasihan Tuhan, tidak seimbang dengan betapa rumitnya alam ini diciptakan oleh Tuhan. 

Pikiran di atas Gunung Lonceng semakin terbuka, bahwa keMahaLuasan dan keMahaHebatan Tuhan lah yang akan menjawab semua pesoalan, simpulan utamanya, segala sesuatu harus diselesaikan bukan oleh apa-apa, tapi oleh ilmu kita sendiri.

Tidak heran, orang-orang terdahulu di tanah Parahyangan ini, karena kedekatan mereka dengan alam, kedekatan mereka dengan kesejukan udara, banyak melakukan kontemplasi hingga menemukan kebenaran sejati. Ini terjadi di luar catatan sejarah, bahwa manusia-manusia di tatar Sunda, milyaran tahun lalu telah bisa menerapkan ajaran Tuhan dengan benar, tanpa perang, ekspansi. 

Sebab kedekatan mereka dengan Tuhan mengharuskan mereka tidak penting menjadikan " kedekatan mereka dengan Tuhan" harus dilembagakan dan diorganisasikan, kecuali harus direalisasikan dalam bentuk tekad, ucap, dan lampah yang selaras.

Hal ini akan berbeda dengan orang-orang yang berada di lingkungan gurun. Hasil kontemplasi manusia dalam menemukan Tuhan kemudian memancarkan wahyu, wahyu akan dilembagakan, dipindahkan ke dalam bahasa tulisan, bahkan bisa jadi harus dipaksakan karena tabiat keras dan watak orang-orang gurun beriklim panas memang seperti itu. 

Watak keras orang-orang gurun akan menampilkan citra Tuhan sebagai pemberi rahmat sekaligus akan memberikan adzab yang pedih kepada para pembangkang. Kabar gembira akan selalu disandingkan dengan peringatan keras dengan siksaan-siksaan kepada para pembangkang. 

Wahyu ditafsirkan secara kontradiktif bahkan menampilkan sosok Tuhan sebagai dualisme berbeda; Tuhan yang pengasih dan Tuhan yang bengis. Adalah lumrah, dari penafsiran wahyu tersebut muncul tradisi perang, pembunuhan, penyaliban, membonceng nama Tuhan untuk meraih kekuasaan.

Penetapan dualisme Tuhan ini akan melahirkan pandangan sempit, seolah memosisikan ada dua Tuhan, Tuhan Kami dan Tuhan Mereka.

Padahal Tuhan sudah jelas Ahad (Tunggal) dalam segala hal. Jika kita meyakini Tuhan maha pengasih dan penyayang, maka sangat tidak mungkin Tuhan memberikan ancaman dan siksaan. 

Sangat tidak mungkin juga , Tuhan memerintahkan kepada manusia untuk berperang, membunuh, dan melakukan kerusakan di muka bumi. 

Pantaskah manusia berteriak Allohu Akbar ketika melakukan pengrusakan? Pantaskan manusia memperebutkan kekuasaan dengan mengatasnamakan Tuhan? Jika masih demikian, maka saling bantai, saling bunuh, saling klaim sebagai kelompok yang paling benar akan tetap hinggap di dalam kehidupan manusia. 

Akankah Rohman dan Rohiim Tuhan harus diwujudkan dengan selalu mengangkat pedang? Tentu saja tidak.

Manusia membutuhkan cahaya… Cahaya kebenaran yang telah memancar sejak alam ini diciptakan oleh Sang Maha Kreator. Kebenaran wahyu sebagai bahasa transcendental yang harus diraih kembali oleh manusia, bukan sekadar ditafsirkan melalui tulisan, namun harus diimplementasikan dalam ucap, tekad, dan lampah. 

Manusia tidak perlu mempertanyakan kebenaran secara berulang-ulang kepada Tuhan, sebab apa pun yang datangnya dari Tuhan telah dibenamkan olehNya dalam diri manusia. 

Persoalan-persoalan kehidupan tidak perlu ditanyakan secara berulang-ulang kepada Tuhan, sebab Tuhan telah sempurna menciptakan kehidupan ini, bahkan Tuhan telah menempatkan super-chip hebat dalam diri manusia, Akal. 

Akal ini merupakan ciptaan Tuhan, sebagai media untuk mencermati ayat-ayat Tuhan di alam raya ini. Memandulkan akal, sama dengan menolak wahyu secara keseluruhan. [ ]

Catatan Tahun 2015
Kang Warsa
Kang Warsa Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.

Posting Komentar untuk "Lamplight: Membahasakan Cinta"