Curug Sawer Situ Gunung: Koneksi Jagat Alit dan Jagat Gede

Berbeda dengan Kota Sukabumi, wilayah tetangganya, Kabupaten Sukabumi memiliki potensi alam yang berlimpah, memesona, dan menarik. Keberlimpahan potensi alam ini menjadi salah satu alasan adanya keterikatan antara manusia Sukabumi sebagai Jagat Alit dengan alamnya sebagai Jagat Gede.

Potensi alam Kabupaten Sukabumi meliputi hutan, laut, gunung, dan perkebunan. Wilayah ini sangat mendukung visi besar nasional tentang pembangunan hijau dan berkelanjutan. Melalui visi besar ini, akan lahir potensi lainnya, seperti pertumbuhan perekonomian masyarakat jika potensi alam ini dikelola dan dimanfaatkan dengan baik.

Minggu ini, saya berkunjung ke Curug Sawer, sebuah air terjun yang terletak di kawasan wisata Situ Gunung. Untuk memasuki area ini, kita dapat menggunakan dua jalur: melalui jalur lintasan pertama sambil menyeberangi jembatan suspensi ke Situ Gunung atau melalui lintasan alternatif melalui Cinumpang.

Keterhubungan Jagat Alit dengan Jagat Gede

Keterhubungan atau koneksi antara Jagat Alit dan Jagat Gede ini telah membentuk linimasa baik dalam format sejarah maupun cerita rakyat. Setiap entitas daerah seperti curug (air terjun) dan kenampakan alam lainnya memiliki cerita rakyat dan sejarah sebagai warisan tak benda bagi Sukabumi. Bahkan, cerita dan kisah rakyat ini terus berkembang, menambah khazanah susastra.

Mungkin, keberlimpahan ini sering tanpa disadari oleh warga Sukabumi sendiri. Orang Sukabumi mungkin belum mengenal cerita rakyat tentang daerahnya sendiri, mengenai wewengkon dan kearifan lokalnya.

Hal ini disebabkan oleh beberapa hal: Pertama, cerita rakyat hanya menyebar dan dikenal oleh sebagian pihak saja, misalnya komunitas. Kedua, belum ada upaya pengumpulan cerita dan kisah yang berserakan sehingga sulit untuk dibahasakan kembali secara efektif kepada khalayak.

Sumber Energi Jagat Gede Sukabumi

Saat mengunjungi Curug Sawer, teman saya mengemukakan sebuah pernyataan mengenai kunjungan para Presiden Indonesia ke Sukabumi di akhir masa jabatan mereka. Dari Bung Karno hingga Joko Widodo, para presiden ini mengunjungi Sukabumi. Ada alasan di balik kunjungan tersebut, yang sering dihubungkan dengan pandangan mitos.

Namun, secara ilmiah dan alamiah, Sukabumi dan Tatar Sunda dapat disebut sebagai sumber energi tertinggi yang mewakili Jagat Gede atau semesta. Di masa lalu, wilayah ini dikenal dengan nama Agryre. Sejak era aksial, ketika orang-orang lebih memilih menempati wilayah pesisir, lain halnya dengan Sukabumi dan Tatar Sunda. Sejak migrasi Ras Deutro Melayu pada tahun 500 SM, pedalaman Tatar Sunda telah ditempati oleh para migran.

Mereka menetap di dataran tinggi (huma) karena dataran rendah Sukabumi masih berisiko untuk ditempati, selain dipenuhi oleh rawa, pepohonan tingkat tinggi yang rapat, juga menjadi tempat predator penguasa piramida tertinggi rantai makanan. Bandingkan dengan wilayah lain, pemukiman awal masyarakat Proto Melayu lebih banyak tersebar di wilayah pesisir.

Penduduk pedalaman di Sukabumi tidak pernah mengenal kanibalisme. Hal ini sejalan dengan kondisi alam yang telah menyiapkan berbagai sajian alamiah bagi manusia. Nutrisi dari tumbuhan yang dikonsumsi oleh masyarakat Sunda memiliki pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan otak dan ruang penyimpanan. Salinan data dalam DNA pun mudah terbuka, membentuk jejaring konektivitas antara manusia Sunda dan alam semesta (Jagat Gede).

Kemahatunggalan Sang Pencipta

Orang Sunda lebih menerima ajaran yang logis seperti Kemahatunggalan Sang Pencipta dibandingkan dengan manusia lainnya di Nusantara ini. Dalam tradisi Sunda tidak dikenal politheisme, mereka cenderung menggunakan terma-terma monotheis seperti Sanghyang Tunggal dan Sanghyang Keresa sebagai bentuk vernakularisasi dari monotheisme.

Tak heran, para petinggi negeri, meskipun berasal dari daerah lain, nyatanya lebih nyaman mengunjungi Sukabumi karena daya tarik genetika dan DNA leluhur mereka di masa lalu. Bung Karno mungkin lebih mudah mengalami De Javu saat mengunjungi Nyalindung daripada saat ia berkunjung ke daerah-daerah lain. Begitu juga dengan Suharto, ia merasa lebih terhubung dengan daerah Surade daripada Surabaya.

Dari asumsi ini, manusia Sunda dan orang Sukabumi memang sudah saatnya untuk mengkoneksikan diri mereka sebagai Jagat Alit dengan alam semesta sebagai Jagat Gede. Konektivitas yang tepat akan mengurai genetika mereka dan terpadu dalam bingkai: Hana Nguni Hana Mangke (keterhubungan antara masa lalu dengan masa kini).

Serupa dengan yang saya rasakan saat mengunjungi Curug Sawer dan Situgunung, rapatnya pepohonan dengan gemericik air justru membangun sebuah istana kemegahan masa lalu. Wilayah ini dipuja-puji oleh Ptolemeus sebagai negeri yang tenteram, bukan negeri yang seringai angkara.
Kang Warsa
Kang Warsa Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.

Posting Komentar untuk "Curug Sawer Situ Gunung: Koneksi Jagat Alit dan Jagat Gede"