Sebelum menjadi Terminal K.H. Ahmad Sanusi dan Jalan Lingkar Selatan, wilayah di sebelah utara Balandongan ini masih berupa hamparan sawah dan ada sebuah lapangan tanah merah. Pada tahun 1980-an, harga tanah sawah di daerah ini relatif murah.
Pohon-pohon besar, perdu, dan semak belukar masih tumbuh subur, memberikan kesan liar dan misterius. Penduduk Balandongan dan sekitarnya cenderung menghindari tempat ini, terutama saat menjelang sore atau malam, karena cerita-cerita berbau mistis yang sudah melekat di benak masyarakat.
Cerita tentang kemunculan seekor macan (maung) yang diyakini sebagai jelmaan makhluk halus kerap menghiasi pembicaraan warga. Beberapa orang menghubungkannya dengan kerajaan Sunda Pajajaran dan Prabu Siliwangi, sosok legendaris yang dianggap sakral sekaligus penuh misteri.
Di era Orde Baru, mitos semacam ini bisa jadi merupakan cara pemerintah mengalihkan perhatian masyarakat dari tradisi lokal. Stigma negatif terhadap budaya Sunda kerap muncul, misalnya, mereka yang bekerja hingga larut malam sering kali dianggap kerasukan arwah Pajajaran.
Narasi seperti ini mencerminkan bagaimana mitos digunakan sebagai alat kontrol sosial sekaligus medium untuk mempertahankan identitas budaya. Mitos juga menjadi alat legitimasi terhadap perubahan sosial atau politik, sebagaimana terlihat dalam proses marginalisasi budaya lokal yang terjadi pada masa itu.
Di sekitar Santa dan Pasir Gelatik, mitos serupa juga muncul. Pada tahun 1988, Santa, yang saat itu masih menjadi destinasi wisata kolam renang, pernah menjadi lokasi kontes burung perkutut. Keheningan terjadi ketika suara burung aneh terdengar dari arah Pasir Gelatik.
Fenomena ini sebetulnya dapat dijelaskan secara ilmiah: burung cenderung berhenti berkicau ketika ada suara dominan dengan frekuensi lebih tinggi. Namun, masyarakat mengaitkannya dengan "burung hantu" yang diyakini berasal dari dunia lain.
Lio, yang dulu menjadi tempat pembuatan bata merah, juga menyimpan kisah tragis. Seorang warga meninggal akibat tertimbun tanah saat menggali tanah, bahan baku untuk bata merah. Peristiwa ini mengingatkan kita pada risiko pekerjaan kasar di masa itu, yang sering kali dilakukan tanpa perlindungan memadai.
Wilayah Kerkhof, sebelum Baros, Cibeureum, dan Lembursitu menjadi wilayah pemekaran Kota Madya Sukabumi, berfungsi sebagai Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah. Bau menyengat dan asap dari pembakaran sampah menjadi pemandangan sehari-hari. Bahkan, anak-anak Balandongan sering mengunjungi TPA untuk mengumpulkan telur-telur ayam tak layak tetas yang kemudian dijadikan pakan ikan atau dipelihara.
Penempatan TPA di area pemakaman umum ini menunjukkan rendahnya perhatian pemerintah terhadap kelayakan lingkungan. Secara simbolik, ini mencerminkan konflik antara penghormatan terhadap areal pemakaman dan kebutuhan pragmatis masyarakat.
Saat ini, cerita mistis dari masa lalu sudah tidak lagi mendominasi kesadaran masyarakat modern. Wilayah-wilayah yang dulunya dianggap angker kini berubah menjadi pusat aktivitas yang ramai, siang maupun malam. Mitos "kerasukan Pajajaran" telah tergantikan oleh narasi modern seperti “ketinggalan zaman” bagi mereka yang tidak beradaptasi dengan perubahan.
Perubahan ini mengindikasikan bagaimana modernisasi menggeser pola pikir masyarakat. Transformasi ini mencerminkan proses rasionalisasi yang mengedepankan logika dan teknologi, menggantikan kepercayaan mistis yang dulu menjadi bagian penting dari cara masyarakat memahami lingkungannya.
Namun, di balik modernitas ini, jejak sejarah dan mitos tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas kolektif. Cerita-cerita masa lalu, baik mistis maupun faktual, adalah cermin perjalanan budaya yang perlu dihargai dan dipelajari. Masyarakat dapat belajar dari masa lalu untuk menciptakan masa depan yang lebih inklusif, beradab, dan selaras atara teknologi dengan tradisi.
Posting Komentar untuk "Sepanjang Jalan Kenangan: Sukabumi Tahun 80-90an (Bagian 15)"