Karya Thomas More, Tahun 1516
Di negeri yang jauh, para magistrat dipilih dengan cermat oleh rakyatnya. Setiap tahun, tiga puluh keluarga menunjuk seorang Philarch, yang dulunya disebut Syphogrant, untuk mewakili mereka. Di atas mereka, setiap sepuluh Philarch diawasi oleh seorang Archphilarch, sebelumnya dikenal sebagai Tranibore.
Dengan struktur yang rapi ini, pemerintahan mereka berjalan dengan keteraturan yang luar biasa. Pemilihan pemimpin tertinggi, sang Pangeran, dilakukan dengan penuh kehati-hatian. Para Philarch memilihnya dari empat kandidat yang diajukan oleh rakyat dari empat divisi kota.
Sebelum memberikan suara, mereka bersumpah untuk memilih orang yang paling layak, bukan sekadar mengikuti kepentingan pribadi. Suara mereka diberikan secara rahasia, memastikan keadilan dalam pemilihan.
Pangeran yang terpilih akan memegang jabatan seumur hidup, kecuali jika ia terbukti berupaya menindas rakyat. Sementara itu, para Archphilarch hanya menjabat selama satu tahun, meskipun kebanyakan dari mereka tetap terpilih kembali.
Pemerintahan mereka sangat disiplin—dewan para Archphilarch bertemu setiap tiga hari untuk berdiskusi dengan Pangeran, mengurus persoalan negara, atau menyelesaikan perselisihan yang jarang terjadi di antara rakyat. Dalam setiap pertemuan, dua Philarch dipanggil untuk ikut serta, dan mereka bergantian setiap hari.
Keputusan publik tidak pernah diambil dengan tergesa-gesa. Setiap usulan harus didiskusikan setidaknya selama tiga hari sebelum keputusan diambil. Bahkan, berkumpul di luar dewan resmi untuk membahas urusan negara adalah pelanggaran berat yang dapat dihukum mati.
Sistem ini dirancang agar tak ada sekelompok kecil orang yang bisa berkonspirasi mengubah pemerintahan demi kepentingan pribadi. Jika ada perkara besar, keputusan harus melalui para Philarch, yang akan membahasnya bersama keluarga-keluarga mereka sebelum membawa hasilnya ke senat. Jika masalahnya cukup penting, seluruh rakyat diundang untuk memberikan suara mereka.
Satu aturan yang dijunjung tinggi dalam diskusi adalah larangan mengambil keputusan pada hari pertama suatu usulan diajukan. Hal ini mencegah orang bertindak gegabah atau terjebak dalam perdebatan emosional yang membuat mereka lebih mempertahankan ego daripada mencari solusi terbaik bagi negeri. Dengan cara ini, mereka lebih memilih kehati-hatian daripada tindakan tergesa-gesa yang bisa merugikan masyarakat.
Namun, negeri ini tidak hanya dikenal karena sistem pemerintahannya yang rapi, tetapi juga karena keterampilan mereka dalam bertani dan berdagang. Setiap orang, tanpa kecuali, diajarkan dasar-dasar pertanian sejak kecil.
Mereka belajar di sekolah dan juga melalui pengalaman langsung di ladang, di mana mereka bekerja bersama para petani. Selain bertani, setiap warga memiliki keahlian khusus, seperti menenun kain, mengolah kayu, atau menjadi pandai besi. Tidak ada satu pun pekerjaan yang dianggap lebih mulia dari yang lain.
Pakaian mereka sederhana dan seragam di seluruh negeri, tanpa perbedaan selain yang diperlukan untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan, serta antara yang sudah menikah dan yang belum. Mode pakaian mereka tak pernah berubah, dirancang agar nyaman dalam segala musim.
Setiap keluarga membuat pakaian sendiri, dan baik pria maupun wanita memiliki keterampilan dalam satu atau lebih jenis pekerjaan. Biasanya, anak-anak mewarisi pekerjaan orang tua mereka, tetapi jika seseorang memiliki bakat di bidang lain, mereka bisa pindah ke keluarga yang bekerja di bidang itu.
Para magistrat memastikan tidak ada orang yang menganggur. Namun, mereka tidak memperlakukan rakyat seperti binatang beban yang harus bekerja terus-menerus. Mereka membagi waktu menjadi dua puluh empat jam, dengan enam jam kerja sehari—tiga jam sebelum makan siang dan tiga jam setelahnya. Setelah itu, mereka memiliki waktu luang untuk belajar, membaca, atau berpartisipasi dalam kegiatan budaya.
Setiap pagi sebelum fajar, diadakan kuliah umum bagi mereka yang tertarik mendalami ilmu. Tidak ada yang diwajibkan hadir, tetapi banyak yang datang, baik pria maupun wanita, dari berbagai lapisan masyarakat.
Mereka yang lebih suka bekerja di waktu itu juga tidak dilarang, bahkan dipuji karena dedikasi mereka terhadap negara. Setelah makan malam, rakyat menghabiskan waktu dengan hiburan seperti musik atau permainan intelektual, tetapi mereka tidak mengenal judi atau permainan yang dianggap sia-sia.
Meski hanya bekerja enam jam sehari, mereka tidak kekurangan kebutuhan hidup. Hal ini karena di negeri lain, begitu banyak orang yang hidup dalam kemalasan—wanita yang tidak bekerja, bangsawan yang menganggur, serta para pengemis yang hanya berpura-pura sakit demi belas kasihan.
Banyak pula yang bekerja di bidang yang tidak memberikan manfaat nyata bagi masyarakat. Di negeri ini, semua orang bekerja dalam hal yang benar-benar berguna, sehingga barang-barang kebutuhan selalu tersedia dalam jumlah cukup, bahkan sering berlebih.
Sementara di negeri lain orang kaya membangun rumah megah hanya untuk dibiarkan terbengkalai oleh pewarisnya, rakyat negeri ini menjaga rumah mereka agar tetap kokoh dari generasi ke generasi. Mereka jarang membangun rumah baru, melainkan merawat yang sudah ada, sehingga tenaga kerja untuk pembangunan sering kali menganggur karena tidak ada yang perlu diperbaiki.
Pakaian mereka pun dibuat dengan sederhana. Mereka mengenakan bahan yang tahan lama, yang bisa digunakan bertahun-tahun tanpa perlu diganti. Warna pakaian mereka tidak bervariasi karena mereka hanya menggunakan warna alami dari kain yang mereka buat sendiri. Mereka tidak tertarik pada kemewahan yang hanya akan membawa kesia-siaan.
Dengan sistem kerja yang efisien dan kebutuhan hidup yang sederhana, mereka bahkan memiliki waktu luang lebih banyak dibandingkan rakyat di negeri lain. Jika tidak ada proyek umum yang perlu dikerjakan, jam kerja mereka dikurangi, dan rakyat diberikan lebih banyak waktu untuk mengembangkan ilmu dan seni.
Para hakim tidak pernah memerintahkan pekerjaan yang tidak perlu, karena tujuan utama negara ini adalah memberikan keseimbangan antara kerja dan kehidupan yang bermakna.
Di negeri ini, orang-orang tidak bekerja hanya untuk bertahan hidup, tetapi untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi semua. Pemerintahan mereka berfungsi bukan untuk menindas, melainkan untuk memastikan setiap orang memiliki kesempatan berkembang.
Dengan sistem yang dijalankan dengan ketat namun adil, negeri ini menjadi tempat di mana kesejahteraan dan kebijaksanaan berjalan beriringan, menjadikannya contoh bagi dunia di sekitarnya.
Di negeri yang jauh, para magistrat dipilih dengan cermat oleh rakyatnya. Setiap tahun, tiga puluh keluarga menunjuk seorang Philarch, yang dulunya disebut Syphogrant, untuk mewakili mereka. Di atas mereka, setiap sepuluh Philarch diawasi oleh seorang Archphilarch, sebelumnya dikenal sebagai Tranibore.
Dengan struktur yang rapi ini, pemerintahan mereka berjalan dengan keteraturan yang luar biasa. Pemilihan pemimpin tertinggi, sang Pangeran, dilakukan dengan penuh kehati-hatian. Para Philarch memilihnya dari empat kandidat yang diajukan oleh rakyat dari empat divisi kota.
Sebelum memberikan suara, mereka bersumpah untuk memilih orang yang paling layak, bukan sekadar mengikuti kepentingan pribadi. Suara mereka diberikan secara rahasia, memastikan keadilan dalam pemilihan.
Pangeran yang terpilih akan memegang jabatan seumur hidup, kecuali jika ia terbukti berupaya menindas rakyat. Sementara itu, para Archphilarch hanya menjabat selama satu tahun, meskipun kebanyakan dari mereka tetap terpilih kembali.
Pemerintahan mereka sangat disiplin—dewan para Archphilarch bertemu setiap tiga hari untuk berdiskusi dengan Pangeran, mengurus persoalan negara, atau menyelesaikan perselisihan yang jarang terjadi di antara rakyat. Dalam setiap pertemuan, dua Philarch dipanggil untuk ikut serta, dan mereka bergantian setiap hari.
Keputusan publik tidak pernah diambil dengan tergesa-gesa. Setiap usulan harus didiskusikan setidaknya selama tiga hari sebelum keputusan diambil. Bahkan, berkumpul di luar dewan resmi untuk membahas urusan negara adalah pelanggaran berat yang dapat dihukum mati.
Sistem ini dirancang agar tak ada sekelompok kecil orang yang bisa berkonspirasi mengubah pemerintahan demi kepentingan pribadi. Jika ada perkara besar, keputusan harus melalui para Philarch, yang akan membahasnya bersama keluarga-keluarga mereka sebelum membawa hasilnya ke senat. Jika masalahnya cukup penting, seluruh rakyat diundang untuk memberikan suara mereka.
Satu aturan yang dijunjung tinggi dalam diskusi adalah larangan mengambil keputusan pada hari pertama suatu usulan diajukan. Hal ini mencegah orang bertindak gegabah atau terjebak dalam perdebatan emosional yang membuat mereka lebih mempertahankan ego daripada mencari solusi terbaik bagi negeri. Dengan cara ini, mereka lebih memilih kehati-hatian daripada tindakan tergesa-gesa yang bisa merugikan masyarakat.
Namun, negeri ini tidak hanya dikenal karena sistem pemerintahannya yang rapi, tetapi juga karena keterampilan mereka dalam bertani dan berdagang. Setiap orang, tanpa kecuali, diajarkan dasar-dasar pertanian sejak kecil.
Mereka belajar di sekolah dan juga melalui pengalaman langsung di ladang, di mana mereka bekerja bersama para petani. Selain bertani, setiap warga memiliki keahlian khusus, seperti menenun kain, mengolah kayu, atau menjadi pandai besi. Tidak ada satu pun pekerjaan yang dianggap lebih mulia dari yang lain.
Pakaian mereka sederhana dan seragam di seluruh negeri, tanpa perbedaan selain yang diperlukan untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan, serta antara yang sudah menikah dan yang belum. Mode pakaian mereka tak pernah berubah, dirancang agar nyaman dalam segala musim.
Setiap keluarga membuat pakaian sendiri, dan baik pria maupun wanita memiliki keterampilan dalam satu atau lebih jenis pekerjaan. Biasanya, anak-anak mewarisi pekerjaan orang tua mereka, tetapi jika seseorang memiliki bakat di bidang lain, mereka bisa pindah ke keluarga yang bekerja di bidang itu.
Para magistrat memastikan tidak ada orang yang menganggur. Namun, mereka tidak memperlakukan rakyat seperti binatang beban yang harus bekerja terus-menerus. Mereka membagi waktu menjadi dua puluh empat jam, dengan enam jam kerja sehari—tiga jam sebelum makan siang dan tiga jam setelahnya. Setelah itu, mereka memiliki waktu luang untuk belajar, membaca, atau berpartisipasi dalam kegiatan budaya.
Setiap pagi sebelum fajar, diadakan kuliah umum bagi mereka yang tertarik mendalami ilmu. Tidak ada yang diwajibkan hadir, tetapi banyak yang datang, baik pria maupun wanita, dari berbagai lapisan masyarakat.
Mereka yang lebih suka bekerja di waktu itu juga tidak dilarang, bahkan dipuji karena dedikasi mereka terhadap negara. Setelah makan malam, rakyat menghabiskan waktu dengan hiburan seperti musik atau permainan intelektual, tetapi mereka tidak mengenal judi atau permainan yang dianggap sia-sia.
Meski hanya bekerja enam jam sehari, mereka tidak kekurangan kebutuhan hidup. Hal ini karena di negeri lain, begitu banyak orang yang hidup dalam kemalasan—wanita yang tidak bekerja, bangsawan yang menganggur, serta para pengemis yang hanya berpura-pura sakit demi belas kasihan.
Banyak pula yang bekerja di bidang yang tidak memberikan manfaat nyata bagi masyarakat. Di negeri ini, semua orang bekerja dalam hal yang benar-benar berguna, sehingga barang-barang kebutuhan selalu tersedia dalam jumlah cukup, bahkan sering berlebih.
Sementara di negeri lain orang kaya membangun rumah megah hanya untuk dibiarkan terbengkalai oleh pewarisnya, rakyat negeri ini menjaga rumah mereka agar tetap kokoh dari generasi ke generasi. Mereka jarang membangun rumah baru, melainkan merawat yang sudah ada, sehingga tenaga kerja untuk pembangunan sering kali menganggur karena tidak ada yang perlu diperbaiki.
Pakaian mereka pun dibuat dengan sederhana. Mereka mengenakan bahan yang tahan lama, yang bisa digunakan bertahun-tahun tanpa perlu diganti. Warna pakaian mereka tidak bervariasi karena mereka hanya menggunakan warna alami dari kain yang mereka buat sendiri. Mereka tidak tertarik pada kemewahan yang hanya akan membawa kesia-siaan.
Dengan sistem kerja yang efisien dan kebutuhan hidup yang sederhana, mereka bahkan memiliki waktu luang lebih banyak dibandingkan rakyat di negeri lain. Jika tidak ada proyek umum yang perlu dikerjakan, jam kerja mereka dikurangi, dan rakyat diberikan lebih banyak waktu untuk mengembangkan ilmu dan seni.
Para hakim tidak pernah memerintahkan pekerjaan yang tidak perlu, karena tujuan utama negara ini adalah memberikan keseimbangan antara kerja dan kehidupan yang bermakna.
Di negeri ini, orang-orang tidak bekerja hanya untuk bertahan hidup, tetapi untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi semua. Pemerintahan mereka berfungsi bukan untuk menindas, melainkan untuk memastikan setiap orang memiliki kesempatan berkembang.
Dengan sistem yang dijalankan dengan ketat namun adil, negeri ini menjadi tempat di mana kesejahteraan dan kebijaksanaan berjalan beriringan, menjadikannya contoh bagi dunia di sekitarnya.
Posting Komentar untuk "Utopia (Bagian 3)"